ELENA

2 0 0
                                    

Matanya terpejam. Rasa penat menggelayuti sekujur tubuhnya. Mimpi apa dia sampai orang tuanya tega mengirimnya ke tempat ini?

Dia masih terbaring lesu di kamar berukuran empat kali empat meter di lantai dua asrama. Rambut coklat caramelnya yang sebahu dibiarkan terurai menutupi sebagian kulit wajahnya yang putih mulus tanpa noda. Dia menghembuskan napas pelan. Teringat kembali peristiwa di bandara, ketika orang tuanya mengantar keberangkatannya. Ibunya memeluknya erat dengan berurai air mata. Sedangkan ayahnya lebih banyak diam sambil mengelus kepalanya. Tidak ada penjelasan selain kata maaf dan kalimat yang bertujuan untuk menghiburnya.

"Ma? Kenapa?" tanya gadis itu dengan wajah bingung yang jelas terlihat di wajahnya, "Aku nggak mau pergi, Ma! Aku ingin tetap disini bersama kalian!"

"Maaf, Sayang. Mama belum bisa bicara banyak untuk saat ini. Kamu harus kuat ya, Nak? Kamu pasti bisa."

"Bagaimana kalau aku tidak bisa, Ma? Aku takut...."

"Kamu pasti bisa. Itu salah satu sekolah terbaik di seluruh dunia. Ini kesempatan yang tidak sembarang orang mendapatkannya. Kamu tidak akan menyesal berada disana."

"Aku tidak butuh sekolah terbaik! Aku hanya butuh kalian!"

Perempuan cantik itu berusaha menenangkan putrinya yang merajuk.

"Suatu saat kamu akan mengerti. Masuklah! Jangan sampai tertinggal pesawat!"

Mata lebar dengan warna iris yang senada dengan rambutnya itu kembali terbuka. Dia masih tidak mengerti jalan pikiran orang tuanya. Dia tahu kedua orangtuanya adalah peneliti yang hebat. Pemerintah Perancis mengirimkan mereka ke berbagai belahan dunia untuk melakukan penelitian. Tapi bukan berarti otaknya sehebat otak mereka.

Berada di tempat konyol ini adalah mimpi terburuknya. Sekolah terbaik yang menurut kedua orang tuanya banyak menghasilkan orang-orang hebat. Tapi bukan berarti apa-apa baginya jika harus kehilangan banyak hal. Orang tuanya. Teman-temannya. Bahkan pemandangan cantik dari jendela kamarnya yang selalu memanjakan matanya. Apa yang bisa dilakukannya di tempat yang bahkan sinyal ponsel pun enggan untuk muncul? Dia berusaha mengingat-ingat tapi nama itu tidak muncul juga di kepalanya. Yang dia ingat bahwa dia saat itu berada di Inggris, jauh di pedalaman. Dengan akses yang sangat terbatas dan pemandangan yang mirip hutan Amazon di Afrika. Oh, great! Mereka mengirimnya kembali ke jaman batu!

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Keningnya berkerut. Apa masih ada orang yang mengenalnya di tempat itu? Rasanya tidak mungkin. Dia bangkit dan menyeret langkahnya menuju pintu. Menarik gagang pintunya yang sedikit kusam.

Seorang gadis sebayanya berdiri disana. Bersama seorang laki-laki yang juga sebaya dengannya. Mau apa mereka?

"Hai!" gadis itu melambaikan tangannya dengan gerakan yang lucu, "Aku, Livy. Kau baru datang, ya? Sudah waktunya makan malam. Kau mau turun makan bersama kami?"

Dia terpesona dengan keramahan gadis itu. Benar-benar gadis yang menyenangkan. Dan dia langsung menyukainya.

Livy memiliki wajah yang cantik. Tingginya sekitar 165 cm. Rambut pirangnya bergelombang hingga melewati bahunya. Tubuh langsingnya dibalut t-shirt warna kuning cerah, celana jeans biru muda dan sepatu kets warna putih. Cukup sederhana namun terlihat cantik di tubuhnya.

Dibelakangnya berdiri seorang pemuda dengan wajah yang mirip dengannya. Rambut pirangnya sedikit lebih panjang daripada rambut pria pada umumnya dan dibiarkan jatuh menutupi sebagian wajahnya. Memberi kesan misterius sekaligus dingin. Tapi juga sangat menarik. Ups!

Dipandanginya keduanya dengan tanda tanya memenuhi benaknya. Apa mereka kembar?

"Bagaimana? Kau mau ikut?" Livy menyentuh lengannya sambil tersenyum.

"Oh ya, tentu!" Sebelah tangannya mengusap tengkuknya dengan kikuk. Dia terpesona dengan keduanya.

Livy memutar tubuhnya hingga menatap pria di belakangnya. Berbisik lirih.

"See, Leo? Dia manis bukan?"

Dia mengalihkan pandangannya. Tentu dia mendengarnya. Bisikan itu terlalu dekat dengannya hingga tidak mungkin luput dari pendengarannya. Laki-laki yang dipanggil Leo tidak bereaksi. Dia tidak berani menatapnya.

Sepertinya bukan pria yang ramah meskipun tentu saja, memang sangat tampan. Tidak masalah jika laki-laki itu tidak ingin mengenalnya. Dia berusaha menghibur diri.

Namun di luar dugaan, laki-laki itu mengulurkan tangannya. Menampilkan senyum yang begitu menggemaskan hanya dengan menarik sedikit sudut bibirnya. Dan dia terpesona hanya dalam sekedipan mata. Oh, Gosh...bagaimana dia melakukannya? Itu adalah senyuman terindah dari sekian banyak senyum yang pernah dilihatnya. Dia hanya bisa terpaku.

"Namaku Leonard. Kau boleh memanggilku Leo. Kurasa itu lebih mudah diucapkan?"

Suara laki-laki itu mengalir ringan seperti air hujan yang menetes di atas daun. Mengubahnya menjadi gadis paling tolol di dunia.

Tutup mulutmu! Air liurmu bisa menetes jika kau tidak segera melakukannya! Gerutu suara di dalam kepalanya. Dia mengerjapkan matanya seolah tersadar. Bibirnya mengerucut menahan senyum. Pipinya samar-samar merona. Sebelah tangannya terulur menyambut tangan laki-laki itu.

"Namaku Elena. Senang berkenalan dengan kalian."

***

FIRST GRADEWhere stories live. Discover now