"Ayo," ajak Livy sambil meraih bahu Elena.
Mereka berjalan menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai satu. Gedung asrama ini memiliki empat tingkat. Dan setiap tingkatnya dihubungkan dengan tangga yang terbuat dari kayu.
Elena dan Livy berjalan mendahului sementara Leonard mengikuti di belakangnya sambil membisu. Ketenangan laki-laki itu yang selalu membuat Elena ingin memalingkan wajahnya untuk memastikan apa sebenarnya yang dilakukannya dalam diamnya. Adakah dia sedang memperhatikannya diam-diam? Oh, yeah. Itu terlalu berlebihan. Pangeran tampan itu tidak mungkin memperhatikannya meskipun hanya memandanginya dari belakang sekalipun. Hanya karena dia sudah memberikan senyumannya bukan berarti dia tertarik. Jangan mimpi!
Mereka tiba di lantai satu. Itu mirip lobby sebuah hotel. Hanya saja sama sekali tidak mewah karena hampir semua perabotnya terbuat dari kayu dan berumur sangat tua. Beberapa murid sedang duduk menunggu dan seorang perempuan dewasa sedang melayani mereka dengan wajah masam. Perempuan itu menoleh ketika mereka sampai. Matanya sedikit melebar memandang mereka bertiga. Elena bergidik. Dia tidak menyukai perempuan itu. Aura yang ditimbulkannya membuat suasana sekitarnya berubah suram. Dia memalingkan wajahnya. Mengikuti Livy yang tetap berjalan tanpa mempedulikan tatapan perempuan itu yang memandang tajam mereka.
"Mereka semua sedang mengantri untuk mendapatkan kunci kamar. Kita cukup beruntung karena tidak perlu repot-repot seperti mereka. Orang tua kita punya pengaruh yang cukup kuat di sekolah ini, "gumam Livy.
Elena menggelengkan kepalanya tidak paham. Dia tidak menyangka orang tuanya punya pengaruh sebesar itu di dunia luar karena di rumah, mereka bersikap layaknya orang tua pada umumnya. Apalagi menurutnya mereka bukan tergolong keluarga yang kaya raya. Rumah mereka di Bordeaux, juga bukan rumah yang mewah meskipun berada di kawasan yang cukup elit. Setidaknya dia lega karena tidak harus berhadapan dengan perempuan berwajah masam tadi.
Mereka melewati jalan yang lebih mirip sebuah lorong yang cukup lebar. Di sisi sebelah kanan terdapat ruangan terbuka berisi rak-rak buku kuno setinggi dua meter berjajar membentuk barisan yang rapi. Bukunya tebal-tebal dan terlihat menarik. Beberapa kursi dan meja ditata berkelompok berjarak lima meter dari jajaran rak buku di ruangan itu. Well. Sepertinya itu ruang perpustakaan. Elena berusaha mengingatkan dirinya untuk mengunjungi tempat itu begitu ada kesempatan.
"Kau sudah memutuskan untuk memilih jurusan?" tanya Livy mengusik pikirannya yang sedang bergelut dengan keingintahuan akan tempat itu.
Elena menggeleng.
"Aku belum memikirkannya,"jawabnya dengan jujur.
Tawa lirih di belakangnya menggoda Elena untuk memalingkan wajahnya. Dan...
Uhft....heaven...Dia hampir saja mendesis. Pangeran tampannya membuat jantungnya berhenti berdetak.
"Kau pasti mengira sekolah ini payah dan tidak menarik? Sayangnya, disini seratus kali lebih bagus daripada sekolah manapun."
Really? Elena terpesona. Bukan hanya oleh wajah tampan Leonard maupun suara merdunya tapi juga dengan ucapannya yang menggelitik rasa penasarannya lebih jauh. Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh tempat ini?
Tidak peduli berapa banyak tanda tanya yang memenuhi kepala Elena, mereka terus berjalan melewati beberapa ruangan tertutup di sepanjang lorong sebelum akhirnya benar-benar berjalan di lorong yang sesungguhnya. Lebarnya sekitar lima meter. Dindingnya kusam masih terbuat dari kayu yang sudah sangat tua. Atapnya melengkung seperti kubah yang memanjang. Itu adalah jalan yang menghubungkan asrama dengan gedung lainnya. Jika dilihat dari atas, bangunan ini mirip sebuah kincir raksasa dengan empat lengannya yang terhubung ke gedung utama yang terdiri dari beberapa ruangan yang sangat luas. Termasuk lapangan olah raga, ruang serbaguna, dan ruang makan yang akan mereka datangi.
Sepuluh menit mereka berjalan dan sampailah mereka di sebuah ruangan yang sangat besar dipenuhi kursi-kursi dan meja-meja panjang. Di sisi kiri dan kanan ruangan terhampar beberapa jenis makanan dan minuman yang ditata di atas sebuah meja yang sangat panjang. Mereka masuk ke dalam antrian dan mulai memilih makanan. Beberapa petugas terlihat sedang sibuk melayani. Elena tersenyum lega ketika melihat makanan yang disajikan cukup familiar dengan perutnya. Well, ternyata tidak separah yang ada dalam pikirannya. Wajar kan jika dia sempat berpikir kemungkinan terburuk tentang tempat itu? Sebuah sekolah berasrama yang berada di daerah terpencil dengan gedung tuanya, apa masih bisa berharap akan menemukan makanan kesukaannya disini?
"Mmmh...boleh kutanyakan sesuatu?" tanya Elena dengan ragu, menimbang apakah bijak menanyakan hal ini pada orang yang baru dikenalnya. Dia tidak mau dianggap terlalu mencampuri urusan orang lain.
Mereka duduk berdampingan. Elena dan Livy. Sedangkan Leo duduk persis di seberang menghadap Elena. Oh, yeah. Ini memang sedikit mengganggu konsentrasi Elena. Berhadapan langsung dengan seseorang yang menarik perhatiannya akan membuatnya tidak fokus.
"Mengenai apa?" Livy menjawab tak acuh.
"Aku hanya penasaran," Elena menggantung pertanyaannya. Masih ragu-ragu untuk melontarkannya.
Laki-laki tampan di depannya mulai tertarik untuk ikut mendengarkan dan itu membuatnya gugup. Dia menyuap potongan kentang panggang yang berlumuran krim keju pelan-pelan ke mulutnya. Ikut menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Elena.
"Mmmh...kenapa kalian ada disini? Maksudku disini sangat terpencil dan tidak semua orang tahu ada sekolah disini. Kalian...mengerti maksudku kan?"
Livy mengangkat bahunya dengan santai.
"Mungkin untukmu memang asing tapi tidak bagi kami. Dari kakek buyut hingga orangtua kami, mereka semua bersekolah disini . Mungkin sudah semacam tradisi! Dan sekarang giliran kami!"
"Kakek buyut," Elena menggumam mengulangi kata-kata Livy. Sambil berpikir betapa tuanya sekolah itu.
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Leo masih sambil mengunyah kentang panggangnya dan menatap Elena dengan wajah ingin tahu, "Kenapa kau tertarik berada disini?"
"Mmmh..aku...tidak tahu.. orangtuaku yang mengirimku kemari," ucap Elena dengan salah tingkah sembari menggigit pizza dalam potongan yang sangat besar, berharap tidak ada pertanyaan lagi untuknya. Jantungnya mendadak berpacu melebihi kecepatan normal. Gawat. Si tampan itu bisa membuatnya jantungan hanya dengan melontarkan satu pertanyaan.
Elena merasa lega ketika akhirnya makan malam itu berakhir. Paling tidak, dia bisa kembali menormalkan detak jantungnya yang tak beraturan dan terbebas dari tatapan mata Leo yang mengintimidasinya. Berdekatan dengan laki-laki itu membuatnya susah untuk bernapas.
Mereka berpisah di depan kamar Elena. Leo tersenyum tipis sambil merangkul bahu Livy yang berada di sampingnya. Elena tersenyum kecut melihat keduanya berjalan sambil bercanda. Ya. Ya. Mereka sukses membuatnya cemburu.
***

YOU ARE READING
FIRST GRADE
Ficção GeralTentang seorang gadis yang dikirim orang tuanya jauh ke pedalaman Inggris untuk melanjutkan sekolahnya. Disanalah cerita ini mengalir. Ketika dia jatuh cinta dan terpaksa melepas cintanya.