KISAH-KISAH PEMBUNUHAN ATAS MUARA LIEM

1.7K 153 13
                                    


Malam ini aku akan membunuhnya untuk terakhir kali. Tak perlu meracuninya dengan arsenik atau sianida. Tak perlu menggantungnya dengan tali. Tak perlu menabraknya dengan truk kontainer. Tak perlu menikamnya dengan pisau belati. Cukup dengan komputer Pentium 4. Cukup dengan kisah-kisah yang diketik rapi. Enam sampai delapan lembar saja sudah bisa membunuhnya dengan dramatis. Dalam fiksi tentunya.

Faktanya dia selalu bugar dan cantik. Kaya dan menawan. Populer dan tak terkalahkan. Delapan puluh lima persen keberhasilannya adalah karena hasil kerjaku. Lima belas persen sisanya adalah karena kecantikan, keluwesan, dan kepintarannya dalam bergaul serta berbicara. Inilah hasil perbudakan selama bertahun-tahun. Perbudakan atas nama balas budi. Sementara aku hanyalah perempuan gagal yang menghabiskan waktuku mendekam di sebuah kamar kos kecil. Tanpa popularitas yang seharusnya menjadi milikku.

Kami bersahabat. Dulu. Kami selalu ada satu sama lain. Dia membuktikan dirinya sebagai sahabat pada saat aku keguguran. Padahal aku belum menikah. Janin yang mati itu hasil hubunganku dengan pacarku. Pada saat itu hanya dia yang selalu ada di sisiku, merawatku, mengubur janin mati itu di suatu tempat. Pacarku hilang entah kemana. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku bila dia tak ada.

Persahabatan kami mulai berubah dalam bentuk yang berbeda ketika dia berkenalan dengan seorang editor penerbitan buku-buku laris. Namanya Leo. Orangnya kaya dan ganteng. Dia terpikat padanya untuk pertama kali. Berbagai cara dia tempuh agar bisa bertemu dengannya. Hingga suatu hari dia mendatangiku.

"Setahuku kamu bisa nulis, kan, La?"

"Ya, cuma di buku harian saja."

"Ah, nggak. Dulu kamu sering menulis di mading sekolah."

"Memang ada apa, sih?"

"Menulislah untukku."

"Hah, menulis apa?"

"Apa saja. Novel. Cerpen."

"Aku nggak yakin..." Lalu aku melihat kilatan di matanya seakan berkata; Bukankah aku dulu yang merawatmu? Bukankah aku yang menyelamatkanmu?

"Ya, kucoba."

Aku mulai menulis untuknya. Tak apalah. Paling tulisan-tulisan itu hanya sebagai alasan untuk bisa bertemu dengan Leo. Tapi ternyata konsekuensinya sungguh di luar dugaan. Leo menerbitkan tulisan-tulisan itu dan menjadi best seller dimana-mana. Novel itu bukan atas namaku melainkan namanya. Muara Liem.

Itulah satu titik penting dimana Liem mulai merintis kepopulerannya. Novel itu mulai difilmkan dan lagi-lagi melejit tak terkira. Liem sendiri terkejut dengan apa yang dia raih dari hasil kerjaku. Dia mulai merayuku untuk menulis lagi. Dia menawarkan separuh royaltinya untukku. Setiap aku ingin menolak aku selalu melihat kilatan di matanya. Kilatan yang mengungkit perbuatan baiknya di masa lalu. Maka persahabatan kami telah bermetamorfosa dengan sempura. Antara manusia dan hantu. Akulah hantu bagi Liem, bayangan Liem. Seorang ghost writer bagi buku-buku yang tak pernah mencantumkan namaku di sana.

Novel kedua lebih laris dari yang pertama. Lagi-lagi novel itu juga difilmkan. Aku begitu tertusuk saat Liem berkata padaku bahwa dia yang akan menjadi tokoh utama dalam film itu. Bayangkan penulis novel sekaligus menjadi aktris?!

Saat launching film itu aku mengurung diri di kamar dan mulai membunuh Liem dalam fiksi-fiksiku. Anehnya semakin aku membuatnya hancur, gagal, terpuruk, bahkan mati dalam cerpen-cerpenku, justru dalam kehidupan nyata, Liem semakin populer, semakin kaya, menjadi bintang iklan, dan malah mendapat pacar yang lebih ganteng dari Leo.

Putus asa. Tak berdaya. Itulah aku. Royalti yang ditransfer Liem ke rekeningku memang cukup untuk hidup sehari-hari bahkan aku bisa mengirim separuhnya untuk emak dan bapak di desa. Mereka mengira aku kerja di kantor dengan seragam cantik. Bersih dan rapi. Ironis.

Kisah-Kisah Pembunuhan Atas Muara LiemDonde viven las historias. Descúbrelo ahora