Tetesan air yang jatuh dari langit mulai membasahi jalanan aspal tak jauh dari tempatku tinggal sekarang. Aku menatap bagaimana tetesan air perlahan mulai membasahi hampir seluruh jalanan. Hujan mulai deras.
Ini adalah ritual yang tak pernah aku tinggalkan. Jika sedang berada di rumah, aku selalu menyempatkan menyaksikan bagaimana tetesan-tetesan air hujan mulai berjatuhan. Aku akan terus menatap jalanan yang basah dari balik jendela sampai hujan benar-benar deras. Bahkan, aku sering menatap hujan sampai hujan bosan menyirami bumi. Hampir semua orang menyukai hujan. Termasuk diriku.
Aku selalu saja menyukai hujan, dari sejak kecil bahkan sampai sekarang. Hujan selalu saja istimewa. Setidaknya bagiku. Dia banyak menjadi saksi atas perjalanan hidupku.
Aku menatap keluar jendela. Mengusap kaca yang mulai tertutup embun. Di jalan, aku menyaksikan beberapa orang yang berlari berusaha mencari tempat berteduh. Meskipun sia-sia saja karena pakaiannya sudah terlanjur basah.
Pandanganku tertuju pada dua orang manusia yang sedang berjalan berdampingan saling berpegangan menembus hujan dibawah payung yang digunakan berdua. Bukan, bukan sepasang muda-mudi. Bukan sepasang kekasih yang sedang menikmati kebersamaan dibawah guyuran hujan. Itu adalah seorang ayah dengan anaknya. Tangan kiri si ayah memegang payung dan tangan kanannya menggenggam tangan anaknnya. Dari balik jendela, sesekali aku menyaksikan mereka saling tertawa. Hujan tak mengganggu kebersamaan mereka. Atau bahkan mungkin mereka tidak sadar kalau saat itu hujan cukup lebat disertai kilat menyambar.
Aku memang belum bisa menerka apa yang ada dihati seorang ayah yang menggenggam erat tangan anaknya dibawah guyuran hujan. Tapi, aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh seorang anak yang tangannya digenggam oleh ayahnya. Aku pernah merasakannya. Bahkan, aku masih merindukannya.
Belum ada tanda-tanda akan segera reda. Seorang ayah dan anaknya sudah tidak terlihat lagi. Mengilang di tikungan. Aku masih menatap hujan.
Saat hujan tiba, kenangan itu selalu hadir. Bayangan itu selalu muncul.
"Kita adalah petani, hujan adalah sahabat kita. Jangan pernah mengutuk hujan!" Aku masih ingat kata-kata itu. Kata-kata yang sering diucapkan ayah saat turun hujan.
Aku tidak bisa membohongi diriku. Aku tidak bisa membohongi hatiku. Meski aku bukan anak kecil lagi, tapi aku masih merindukan masa-masa kebersamaan dengan sosok yang bernama Ayah.
Dialah idolaku dulu, saat ini bahkan sampai sekarang. Sejak kecil, aku selalu ingin memiliki waktu berdua dengannya. Karena dengan itu, akan banyak cerita, akan banyak nasihat, akan banyak motivasi yang membakar jiwaku. Waktu terasa singkat jika sudah bersama dengannya.
Dulu, aku selalu ingin menjadi seperti ayah. Sampai ayah mengatakan bahwa aku harus menjadi diriku sendiri.
Katanya, "Tangan Ayah tidak akan selalu menggenggam tanganmu. Ada saatnya kamu harus berjalan sendiri tanpa ada genggaman tangan ayah. Tanpa ada ayah disampingmu. Saat masa itu tiba, kamu harus mulai menyeimbangkan langkahmu sendiri. Berjalan diatas kakimu sendiri tanpa berpegangan pada tangan ayah. Maka, kamu tidak perlu menjadi seperti ayah. Belajarlah menjadi dirimu sendiri. Mulailah mencari kekuatan pada kakimu sendiri. Karena ada masanya ayah tak berada lagi disampingmu. Saat itu kekuatan kakimu, kekuatan langkahmu akan benar-benar di uji. Ayah mengajarkanmu tumbuh menjadi seorang laki-laki. Bukan menjadi seperti ayah."
Hujan perlahan mulai reda. Menyisakan embun yang menutupi pandangan pada kaca jendela. Benar seperti apa yang dikatakan orang bahwa hujan dan kenangan adalah dua hal yang tak kan terpisahkan.
Saat hujan turun, kenangan bersama ayah selalu saja hadir lengkap dengan nasihat-nasihatnya.
Dialah orang terhebat yang hadir dalam hidupku. Dialah Ayah sekaligus ibuku. Aku tak pernah melihat wajah ibu. Tapi aku bisa menggambarkan wajah ibu dari cerita ayah. Aku belajar pada ayah tentang segala hal. Terutama tentang cinta. Tentang bagaimana cinta tetap ada meski orang yang kita cintai telah tiada.
Aku belajar padanya, bagaimana menjadi seorang ayah pada satu sisi dan menjadi seorang ibu pada sisi yang lain.
Dialah ayah paling hebat sedunia.
Dialah idola sejati dalam hidupku.
Dialah pahlawan dalam hidupku.Aku memang bukan ayah. Aku juga tidak bisa menjadi seperti ayah. Tapi pada diriku terdapat bagian darinya. Bagian yang aku harapkan akan mewakili semua teladan yang ada padanya. Pada darahku mengalir darah ayah. Aku selalu berharap bisa mewarisi kehebatan ayah.
Aku akan bercerita tentang kebersamaanku dengan ayah. Agar kalian mengetahui bagaimana kehebatan ayahku.
Aku, kamu dan kita semua pasti memiliki kenangan sendiri bersama ayah. Namun, kebanyakan menganggap bahwa itu adalah hal yang biasa. Bahkan, banyak yang sudah lupa dan kebingungan ketika ditanya hal apa yang paling kamu ingat saat bersama ayah. Benarkan?
Bagiku, semua kebersamaan yang aku jalani bersama ayah adalah istimewa.
Aku memilih menyimpan semua kenangan bersama ayah agar suatu saat aku bisa kembali mengingatnya. Sedangkan kebanyakan orang memilih melupakan kenangan bersama ayah mereka.
Baiklah, aku akan mulai bercerita tentang kebersamaanku bersama ayah. Ayah idolaku. Aku harap kalian tidak ikut-ikutan mengidolakannya. Karena dia ayahku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbuh Bersama Ayah
Historical Fiction"Kamu adalah laki-laki, maka kamu harus tumbuh sebagaimana laki-laki." "Laki-laki sejati bukan berarti tidak pernah menangis. Tidak haram jika laki-laki menangis. Tapi, laki-laki sejati tahu kapan air matanya harus tumpah. Tahu kapan ia harus menang...