Waktu melesat begitu cepat. Tiga bulan ternyata bukan waktu yang lama jika kita sudah melewatinya. Semuanya telah berlalu bersama dengan cerita disetiap saatnya. Kegiatan belajar mengaji ternyata tidak membuatku repot seperti apa yang aku takutkan sebelumnya. Ternyata ayah benar bahwa kakek memiliki banyak cerita seru yang selalu diceritakan pada anak didiknya. Selalu banyak kejutan setiap harinya. Itulah salah satu yang membuatku bersemangat belajar pada kakek.
Kini, sudah tiba waktunya aku menginjakkan kakiku dibangku sekolah.
Sejak sebulan yang lalu ayah sudah menyiapkan semua kebutuhan sekolahku. Ah, lebih tepatnya aku yang merengek pada ayah agar segera membelikanku perlengkapan sekolah karena takut kehabisan jika membelinya mepet dengan waktu sekolah. Ayah menuruti keinginanku itu dengan gelengan kepala sambil mengacak rambutku saat aku merengek minta dibelikan perlengkapan sekolah pada suatu malam.
Besok, aku akan mulai masuk sekolah. Dan malam ini, entah sudah berapa kali aku memperhatikan seragam Merah Putih yang digantung setelah disetrika ayah. Entah sudah berapa kali aku mencoba sepatu baru yang akan aku gunakan besok ke sekolah untuk memastikan bahwa sepatu tidak mengecil. Juga entah sudah berapa kali aku bercermin sambil menggendong tas baru yang akan aku pakai besok ke sekolah hanya untuk memastikan bahwa aku pantas memakai tas itu. Aku juga bahkan berniat menyimpan tas baru itu di samping tempat tidurku hanya untuk memastikan bahwa tidak akan ada perlengkapan yang kurang atau hilang saat besok memulai sekolah. Lebih dari itu, sebenarnya aku sangat ingin segera bertemu hari esok. Ingin segera merasakan bagaimana rasanya sekolah. Ayah yang dari tadi melihat tingkahku hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
"Ini sudah jam sembilan. Bukankah kamu tidak ingin kesiangan dihari pertama sekolah?" Kata Ayah saat aku sedang mencoba sepatu yang entah sudah keberapa kalinya.
Itu adalah perintah untukku agar segera tidur. Tapi itulah Ayah, dia belum pernah menyuruhku tidur langsung dengan kata perintah seperti yang sering aku dengar saat tetangga menyuruh anaknya tidur yang bahkan mereka sering membentak anaknya sampai suaranya terdengar ke rumahku. Tanpa harus diingatkan dua kali, aku segera mengangguk dan bergegas membersihkan diri serta menyikat gigi sebelum akhirnya terlelap tidur. Tidak ada cerita untuk malam ini. Ayah juga segera tidur setelah mengucapkan selamat tidur padaku.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Bahkan, aku sudah bangun sebelum Ayah bangun padahal biasanya dia yang setiap hari membangunkanku. Aku segera bergegas ke kamar sebelah dan mengetuk pintunya. Cukup dengan tiga kali ketukan, sudah terdengar jawaban dari dalam pertanda ayah juga sudah bangun.
"Kamu sudah bangun sepagi ini? Ada apa?" Tanya Ayah saat melihatku berdiri di ambang pintu kamarnya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
Ada apa? Bukankah Ayah sendiri yang mengingatkanku untuk bangun pagi-pagi tadi malam? Bukankah Ayah yang memberitahuku bahwa hari pertama sekolah harus berangkat pagi-pagi? Tanya hatiku."Hhmm...Bukankah Ayah yang mengingatkanku kalau hari pertama sekolah harus berangkat pagi-pagi?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dengan polosnya.
Ayah tertawa mendengar jawaban sekaligus pertanyaan dariku. Dia lalu menepuk dahinya.
"Astaga, memang benar Ayah mengingatkanmu untuk bangun dan berangkat ke sekolah lebih pagi. Tapi tidak sepagi ini. Lihatlah! Bahkan sekarang jam tiga pagi pun belum. Coba kamu lihat keluar jalananpun masih terlihat gelap. Rupanya kamu memang sudah tidak sabar untuk segera sekolah." Ayah tak bisa melepaskan senyuman di bibirnya karena tingkah konyolku itu.
Aku hanya bisa nyengir sambil menggaruk ujung hidung yang tidak gatal. Bahkan aku sampai lupa untuk melihat jam dinding di kamar atau melihat keluar jendela sebelum membangunkan Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbuh Bersama Ayah
Historical Fiction"Kamu adalah laki-laki, maka kamu harus tumbuh sebagaimana laki-laki." "Laki-laki sejati bukan berarti tidak pernah menangis. Tidak haram jika laki-laki menangis. Tapi, laki-laki sejati tahu kapan air matanya harus tumpah. Tahu kapan ia harus menang...