Pondasi Yang Kokoh

543 14 6
                                    

"Bersiap-siaplah segera, sebentar lagi kita berangkat." Ayah mengingatkanku yang masih sibuk dengan kegiatan mewarnai.

Aku mendongak. Kemana?

"Haha... Astaga, jadi kau lupa dengan pembicaraan kita semalam? Ayah hari ini sengaja tidak pergi ke pasar karena sengaja akan mengantarmu langsung." Ayah menepuk jidat saat melihat ekpresi polosku yang kebingungan.

"Ke rumah kakek? Jadi, rencana Ayah semalam bukan becanda?" Tanyaku memastikan.

"Tentu saja obrolan kita semalam adalah serius. Bahkan, Ayah sendiri yang akan mengantarkanmu sekaligus menitipkanmu."

Baiklah. Aku segera merapikan buku gambar dan pensil warna yang hampir seharian menemaniku.

***

Semalam...

Aku dan Ayah sedang duduk berdua di kursi depan rumah sambil menikmati pemandangan langit malam yang bersih berkilauan bintang gemintang. Di depan rumahku, ada dua kursi dan satu meja kecil yang biasa kami gunakan untuk bersantai saat malam. Karena memang rumah kami langsung menghadap bukit barisan tanpa terhalang apapun. Jadi sangat cocok untuk menikmati pemandangan bukit barisan sekaligus menatap langit yang cerah di musim kemarau seperti ini. Konon, dua kursi ini dulu biasa ayah gunakan untuk bercengkrama dengan ibu saat aku belum lahir. Dan sekarang manjadi tempat favorit aku dan ayah untuk berbagi cerita.

Memang, ayah sudah membicarakannya denganku. Tapi, aku kira itu hanyalah obrolan biasa. Atau saat ayah menyebut kata 'esok', tidak sama dengan 'besok' karena memang begitulah biasanya. Meskipun masih sebulan atau bahkan setahun, ayah selalu menggunakannkata 'esok'.

"Esok, kamu harus mulai belajar mengaji Qur'an." Ayah membuka percakapan kami tadi malam.

"Dimana?" Tanyaku. Sebenarnya, itu adalah pertanyaan yang tidak perlu karena aku sendiri sudah tahu jawabannya. Hanya saja, pertanyaan itu terucap karena sedikit kaget dengan ucapan ayah.

"Hahaha... Tentu saja kamu belajar di kakekmu. Besok, ayah yang akan mengantarmu langsung." Ayah tertawa karena melihatku yang sedikit kaget atau mungkin karena pertanyaan tidak perluku.

"Tapi Yah, aku kan belum sekolah. Aku baru mau masuk sekolah tiga bulan lagi. Bukankah anak-anak disini biasa memulai belajar mengaji saat sudah mulai masuk sekolah atau saat sudah kelas dua?"

"Justru karena kamu belum sekolah makanya ayah ingin agar kamu memulai belajar Al-Quran sama kakek. Memang, kebanyakan anak-anak disini baru memulai belajar mengaji saat mereka mulai masuk sekolah atau saat kelas dua bahkan kelas tiga. Tapi, Ayah tidak ingin kamu seperti mereka. Bukankah ayah sering bilang bahwa kamu adalah anak yang istimewa? Maka, ayah tidak ingin kamu sama dengan mereka dalam hal ini."

"Hmmmm...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Berusaha mencerna apa yang dikatakan ayah.

Saat itu, usiaku baru menginjak angka enam.

"Hahaha...." Ayah tertawa melihat tampang konyolku yang masih menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku memang masih sedikit keberatan dengan ide ayah. "Tidak usah terlalu dipikirkan, dicoba saja dulu. Lagipula kamu belajar mengajinya juga sama kakek. Bukankah kamu juga selalu suka dengan cerita kakek? Saat mengaji, pasti akan banyak cerita hebat kakekmu yang hanya diberikan pada anak didiknya."

Kakekku memang seorang guru agama terutama guru mengaji Qur'an. Dia juga sering membantu jika ada urusan pernikahan. Orang-orang desa menyebutnya dengan panggilan 'Ki Lebe'. Itu adalah panggilan yang biasa disematkan pada orang-orang yang lebih faham tentang Agama. Sekarang, sebutan ki lebe bagi orang yang lebih mengerti agama sudah banyak ditinggalkan. Mereka lebih suka dipanggil Ustadz daripada Ki Lebe yang terkesan terlalu kolot.

Tumbuh Bersama AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang