Satu

437 120 24
                                    

"Ibu! Ayah belum pulang? Padahal hari sudah gelap." Tanya seorang gadis kecil pada ibunya, Elisabeth. Ia duduk di ranjangnya yang kecil sambil menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang.

Elisabeth pun menghampirinya lalu duduk disampingnya. Si gadis kecil pun beralih menyandarkan kepalanya pada kedua paha sang ibu, lalu Elisabeth mengusap-usap puncak kepala anaknya.

"Sabarlah nak. Sebentar lagi ayah pulang. Lebih baik kau tidur dulu. Nanti akan ibu bangunkan kalau ayah sudah pulang."

"Baiklah." Jawab sang anak.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari luar. Elisabeth memeriksa, mengintip keluar di balik gorden jendela kamar sang anak. Matanya terbelalak. Segera ia berlari ke arah anaknya.

"Alea! Ayo kita pergi dari sini!"

"Ada apa, bu?" Tanya si gadis kecil. Baru saja ia tertidur.

Elisabeth lalu menarik tangan anaknya. Anaknya pun bangkit dari tempat tidurnya. Mereka berdua berlari menuju pintu belakang lalu meninggalkan rumah mereka. Mereka terus berlari ke arah hutan lebat tanpa menoleh ke belakang sekalipun.

"Ibu! Ibu ada apa? Aku lelah ibu!" Ujar sang anak.

Tiba-tiba muncul cahaya pada kalung yang dikenakan Elisabeth. Cahaya itu muncul sesaat lalu redup kemudian menghilang. Elisabeth menghentikan langkahnya. Ia terduduk lesu lalu menangis.

"Ibu?" Tanya anaknya gelisah.

"Aaarrgh!" Elisabeth mengeluh, ia meremas dada sebelah kirinya.

"Ibu!" Anaknya semakin gelisah.

"Pakai ini nak!" Elisabeth melepas kalungnya lalu memakaikannya pada sang anak. "Pergilah sejauh mungkin. Jangan menoleh. Bila kau merasa lelah sembunyilah. Sebrangi sungai! Pergilah sampai ke ujung hutan!"

"Aku sendiri? Bagaimana dengan ibu? Aku tidak mungkin meninggalkan ibu. Ada apa sebenarnya, bu?"

"Bangsa Darmina menyerang nak! Ibu harus kembali ke rumah. Membantu ayahmu dan bangsa Flamina yang lain." Elisabeth memeluk anaknya. Anaknya pun menangis menjadi-jadi.

"Pergilah nak! Sebelum ada salah satu Darmina menemukan kita."

Sang anak mengangguk ragu.

"Bila ada orang yang menanyakan namamu. Namamu adalah Alea Jenifer. Jangan menyebut Flamina pada namamu. Mengerti?"

Sang anak mengangguk lagi sambil senggukan.

"Pergilah! Kita akan bertemu lagi nanti. Ayah, ibu dan kau pasti akan berkumpul lagi." Elisabeth mengecup puncak kepala anaknya.

Sang anak, Alea, berlari meninggalkan ibunya. Ia terus berlari sambil menangis, semakin dalam lagi menuju hutan lebat yang sama sekali belum pernah ia datangi. Ia tak tahu ia berada dimana. Nafasnya tersengal, ia pun sesekali berhenti sambil bersembunyi untuk mengatur nafasnya lalu ia kembali berlari setelah nafasnya ia rasa telah normal.

Elisabeth membiarkan anaknya yang baru berumur enam tahun itu pergi ke hutan sendiri. Sementara ia kembali ke desanya.

Akhirnya Alea pun sampai di pinggir sungai, hanya ada cahaya bulan yang meneranginya disana. Alea pun menyebrangi sungai itu lalu kembali berlari.

"Ibu." Ia menangis lalu memanggil ibunya. Sesekali ia meringis merasakan perih karena tergores oleh ranting-ranting pohon yang sedikit tajam.

Kembali gelap lagi karena ia memasuki hutan lebat, bahkan cahaya bulan pun tak mampu menerangi hutan itu. Alea terus berlari. Akhirnya ia menyerah. Ia menaiki sebuah pohon lalu ia beristirahat disana.

TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang