Hidup Baru

114 49 10
                                    

"Sudah selesai semua perlengkapan kita?" Edward merapikan kardus yang berisi beberapa perabotan dapur.

"Tinggal beberapa barang lagi," jawab Ariana. Steve dan Alea ikut membantu membereskan barang-barang yang akan dibawa oleh mereka.

"Baiklah. Aku akan pergi ke sekolah Steve untuk meminta surat pindah." Edward pun segera pergi.

Ariana, Steve dan Alea masih sibuk. "Ibu? Bagaimana kita membawa semua barang ini?" tanya Steve.

"Kita hanya akan membawa baju-baju kita. Lain kali ayah akan kembali memakai mobil untuk membawa barang-barang kita."

Mereka bertiga sedang berada di ruang utama, Steve berkutat dengan pikirannya sendiri setelah merapikan bajunya. Ia membayangkan keadaan di kota. Sementara Alea, ia masih tampak murung.

"Bolehkah aku ke rumah nenek Midi sebentar ibu? Aku hanya ingin pamit." Pinta Alea. Ariana mengangguk. "Terimakasih. Aku akan segera kembali." Alea melompat riang pergi menuju rumah nenek Midi. Setibanya disana, ia mendapati nenek Midi sedang menyiram bunga di halaman rumahnya.

"Nenek!"

"Hai, Alea!"

Alea segera memeluk erat nenek Midi Thoms, airmatanya jatuh. "Ada apa dengamu?" Tanya nenek Midi.

"Nenek, ayah Edward akan pindah ke kota. Bolehkah aku tinggal disini dengan nenek untuk menunggu ibu?" Tanya Alea, nenek Midi lalu melepaskan pelukan Alea, ia berlutut, mensejajarkan tingginya dengan Alea.

Nenek Midi mengusap pipi Alea yang basah dengan kedua jempolnya. "Alea! Akan ku beritahukan ibumu bila kau pergi ke kota dengan Edward."

"Nenek?"

"Ikutlah dengan Edward." Nenek Midi tersenyum pada Alea. Senyum mengasihani.

"Eh, maaf nyonya Midi." Ujar seseorang. Nenek Midi lalu mencari asal suara tersebut.

"Ayah?" Panggil Alea. Edward lalu tersenyum ketika ia merasa terpanggil.

*

Akhirnya Edward, Ariana, Steve juga tak ketinggalan Alea telah sampai di rumah baru mereka. Rumahnya ternyata sudah rapi beserta seluruh isinya. Perabotan dapurpun sudah penuh.

"Lalu buat apa kita merapikan perabotan di rumah kita ayah?" Tanya Steve kesal.

"Hahaha. Ayah juga tidak tahu kalau rumahnya sudah lengkap seperti ini. Mungkin kita akan berikan pada tetangga di kampung." Edward terkekeh sementara Steve masih mengerucutkan bibirnya dari tadi.

"Kapan ayah akan kembali ke kampung? Alea ingin ikut," rengek Alea.

"Nanti. Pasti ayah akan mengajakmu." Edward mengelus puncak kepala Edward. Ada perasaan tidak tega pada Alea karena secara tidak langsung telah memisahkan ia dengan orangtuanya.

"Aku akan kembali sekitar satu bulan lagi. Bila ada yang mencari Alea, aku mohon beritahu mereka untuk datang lagi kesini. Aku pasti akan mengembalikan Alea pada kedua orangtuanya. Aku akan sering kesini." Baru kali itu Edward berbicara pada nenek Midi.

"Tentu saja. Aku titip Alea padamu. Aku kenal dengan orangtuanya. Sayangi dia seperti anakmu sendiri." Edward sedikit tercengang dengan ucapan nenek Midi. "Tidak perlu sekaget itu!"

"Ba-baiklah. Aku harus pergi sekarang. Ayo Alea!" Edward memangku Alea lalu membawanya pergi. Edward terus menatap mata Alea, tersirat kesedihan dimatanya.

"Kenapa ayah melamun?" Steve menyadarkan Edward dari lamunannya.

"Ah, Ariana bawa mereka ke kamar. Kalian istirahatlah. Aku akan pergi ke rumah tuan Larry."

Baru saha Edward akan pergi keluar tapi seseorang mengetuk pintu rumah baru mereka. Ariana lalu pergi untuk membukakan pintu.

"Selamat sore! Kau istrinya Edward?" Ariana mengangguk. Mendengar suara yang ia kenal, Edward lalu mengikuti Ariana.

"Tuan Larry? Maaf merepotkan, aku baru saja akan pergi ke rumah tuan. Silahkan masuk."

"Maaf tuan! Silahkan masuk." Ariana membungkuk sebentar lalu mempersilahkan tuan Larry masuk. Tuan Larry lalu duduk di atas kursi panjang yang ada di ruang tamu tersebut. Begitupun Ariana dan Edward. Steve dan Alea menatap tuan Larry.

"Mereka anakmu? Bukannya kau hanya punya satu anak, Edward?"

"Ah, tuan. Keduanya anakku. Yang besar Steve, dan gadis kecil itu bernama Alea. Dia anak angkatku." Edward menjelaskan, sementara tuan Larry hanya mengangguk.

Alea terus menatap tuan Larry dari atas sampai bawah. Merasa aneh, ia nampak seperti seorang bangsawan. Badannya tinggi dan proposional, rupawan juga tampak seperti bangsawan. Tuxedo hitamnya pas dipakai oleh badannya., sempurna.

"Aku baru saja pulang dari kantor. Aku teringat kau Edward, aku pikir kalian sudah datang dan ternyata dugaanku benar. Semoga kalian nyaman tinggal disini." Tuan Larry tersenyum.

"Terimakasih banyak tuan atas kebaikan anda kepada kami," ujar Ariana.

"Istirahatlah kalian. Pukul tujuh malam aku tunggu kalian di rumah. Kita makan malam bersama. Baiklah aku permisi dulu." Tuan Larry berdiri lalu pamit, iapun segera pergi untuk kembali ke rumahnya.

"Ayah. Tuan Larry gagah sekali." Steve masih memasang wajah terpesona.

"Tentu saja. Lebih baik kalian istirahat. Nanti ayah bangunkan kalian. Ayah harus pergi ke rumah tuan Larry. Alea! Kamu pilih kamarmu dan Steve harus mengalah."

"Ayahh.." Steve lalu mengerucutkan bibirnya.

"Kau yang memilih Steve." Ujar Alea, Steve lalu tersenyum.

"Aku tidur di kamar depan." Steve lalu berlari dan memasuki kamar paling depan. Alea tersenyum lalu memasuki kamar di samping Steve. Ariana hanya menggelengkan kepala sementara Edward pergi ke rumah tuan Larry.


*

Mohon tinggalkan jejak :D
Klik bintang di bawah, bila ada kekurangan silahkan tulis di kolom komentar :)

Jadi pembaca yang baik yaa ;)

TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang