Taman Impian

198 92 12
                                    

"Waaahhhh!" Alea terkagum saat ia melihat hamparan bunga di hadapannya.

"Apa kau menyukainya?" Tanya Steve, ia merasa puas setelah melihat mata Alea berbinar saat melihat taman yang penuh dengan bunga itu. Alea mengangguk.

"Steve!" Panggil Alea pelan.

"Ya? Ada apa Alea?"

"Aku ingin bertanya padamu."

"Hmm?" Steve menoleh pada Alea. "Apa yang kau pikirkan?"

"Sekolah itu apa?"

Steve menaikkan sebelah alisnya. "Kau tidak diberitahu oleh ibu dan ayahmu?" Alea menggeleng.

Alea tinggal dimana sih? Sekolah pun dia tidak tahu? Batin Steve sambil menilik Alea. "Jadi sekolah itu tempat untuk belajar. Belajar itu dari yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak bisa jadi bisa." Eh, apa benar seperti itu penjelasannya? Tambahnya dalam hati.

"Di tempat tinggalku tidak ada sekolah. Yang ada hanya tempat berlatih. Berlatih kekuatan agar tidak kalah oleh bangsa Darmina." Ujar Alea, ia menjelaskan sambil memetik beberapa bunga.

"Darmina? Apa itu?"

"Kata ibuku Darmina adalah bangsa yang selalu menyimpan dendam terhadap Flamina. Kata ibuku dulu Flamina dan Darmina adalah saudara, tapi semenjak ada seorang Darmina yang mati saat berburu dengan bangsa Flamina, mereka menuduh seorang Flamina yang membunuh Darmina. Hingga menjadi dendam sampai beberapa keturunan sampai saat ini. Ibu dan ayahku saat ini sedang berjuang melawan Darmina. Aku harap mereka selamat dan bisa berkumpul kembali denganku." Air mata Alea pun menetes deras, beberapa tangkai bunga yang ia petik terjatuh begitu saja.

Steve tidak mengerti apa yang Alea maksud. Dia sedang mimpikah? Melihat Alea menangis, Steve segera menghampirinya dan memeluknya. "Sudahlah kau tidak perlu menangis. Berdoa saja semoga ibu dan ayahmu bisa berkumpul lagi denganmu." Steve mengusap puncak kepala Alea.

Walaupun Steve baru berumur delapan tahun, tapi ia cukup dewasa dalam berpikir. Walau memang kadang sifat kekanakannya masih melekat padanya.

"Jangan menangis! Ikutlah denganku!" Steve menarik tangan kanan Alea, membawanya ke bawah sebuah pohon rindang yang ada di atas bukit. Sementara sepanjang berjalan, Alea mengusap air matanya dengan tangan kirinya.

Sesampainya disana, Steve merebahkan tubuhnya. "Tidurlah Alea!" Alea hanya memandangi Steve yang tertidur di atas rumput hijau itu.

"Kau tahu? Aku menamakan taman ini taman impian. Disini aku bisa tertidur pulas sampai sore hari sambil mencium bau harum bunga di taman ini, dan saat aku tertidur disini, aku selalu bermimpi mempunyai seorang adik. Dan sekarang mimpi itu jadi nyata, hmm, setidaknya sampai nanti saat ibu dan ayahmu membawamu kembali." Steve terus berbicara sambil memejamkan matanya. Alea yang mendengar pernyataan Steve sempat mencelos.

"Apa jika aku tidur disini lalu bermimpi bertemu ibu dan ayahku maka aku sungguh akan bertemu dengan mereka?" Tanya Alea ragu.

"Mungkin. Karena beberapa mimpiku disini sering menjadi kenyataan." Jawab Steve santai. "Tapi apa kau yakin bisa memimpikam hal itu? Mimpi iu kan tidak bisa kita minta."

Alea mulai merebahkan tubuhnya di samping Steve. Menjadikan tangannya sebagai pengganti bantal, ia pun mulai memejamkan matanya.

"Steve!" Seru Alea. Steve tak menjawab.

"Steve! Aku ingin bertanya lagi." Masih tidak ada jawaban. Alea membuka matanya, menatap ke arah Steve, ia benar-benar tidur dan terdengar suara dengkuran. Alea memejamkan matanya lagi lalu menarik sedikit baju Steve. Takut Steve meninggalkannya tanpa sepengetahuan dirinya.


TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang