"You want something done, you've got to do it yourself." –The Little Mermaid
***
UNTUK menenangkan diri dalam enam menit ke depan, kuambil napas panjang sebelum mengembuskannya. Aku dapat merasakan tatapan penekanan Amanda dan Grace, menunggu demonstrasi dari kursi mereka di balkon sana. Jari-jariku menari lincah pada papan hologram di hadapanku, mengatur tingkatan latihan yang akan kujalani setelah ini. Setahun, seharusnya itu cukup membuat mereka terkesan dan pembekuanku bisa segera berakhir kalau demonstrasi ini berhasil sesuai rencana. Kutegapkan badan, lalu mengacungkan pistol sembari menatap lurus ke depan. Lampu-lampu ruangan mendadak redup berurutan. Kesunyian datang menyapa hanya dalam hitungan detik. Waktu yang cukup singkat untuk membuatku beradaptasi dengan situasi semacam ini. Kutajamkan pendengaran dan berusaha tetap fokus. Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki dari belakang. Dengan cergas, kutembakkan peluru ke arah target yang mendekat—sebuah hologram bergerak, yang sudah dirancang sebagai replika musuh untuk latihan. Target-target hologram tersebut terus bermunculan seakan-akan punya kemampuan membelah diri, bergantian menyerangku dengan senjata mereka.
Aku tetap menarik pelatuk, afdal, selagi target-target itu masih berada di dalam jangkauanku; menumbangkan satu per satu hingga peluruku habis. Aku berlari ke depan, mendapati dua target muncul sembari mengacungkan senjata mereka padaku. Puncaku menyipit. Kupercepat laju lariku sebelum menggelongsor dan menggulingkan mereka dalam satu kali tendangan. Lampu-lampu kini menyala serentak kala aku berhenti menyerang, berakhir dengan posisi berlutut tepat di hadapan Amanda dan Grace. Kuangkat wajah, membiarkan mataku menembus mata hijau miliknya yang tajam itu, dan yang dilakukan Grace hanyalah melihat lurus ke arahku dengan mulut terkunci. Apakah aku sudah cukup membuatnya terkesan? Apakah demonstrasiku telah berjalan sempurna seperti yang wanita itu harapkan? Aku harus mendapatkan jawaban-jawaban itu darinya. Amanda, gadis yang sepantaran denganku, tetapi pangkatnya nyaris setara dengan Jack—kenyataan itu sedikit menggangguku. Ia berbicara kalem. Namun, juga terkesan di saat bersamaan. "Hampir sempurna."
Pandangan Grace teralih menuju sudut kiri matanya sesaat, kemudian kembali kepadaku. "Satu musuh masih hidup."
Ketika Grace menandaskan kalimatnya, telingaku baru menangkap sayup-sayup suara langkah kaki dari arah pintu. Aku bisa merasakan kemurkaan mengalir di sekujur tubuhku, begitu deras hingga di saat yang sama aku tidak mampu untuk membendungnya. Pertanyaan itu mulai menyesaki pikiranku. Pertanyaan yang cukup menjengkelkan. Bagaimana bisa keberadaannya tidak terdeteksi olehku? Enam menit itu waktu yang amat cukup untuk menuntaskan target-target lemah saat pelatihan. Mungkin Indah ataupun Sulcha bisa saja membereskannya lebih cepat dari ini. Semua pemikiran itu, hal yang mengganjal di kepalaku, membuat seluruh ototku menegang. Seketika aku membelalak. Pandanganku bergerak ke ujung mata, tempat di mana terakhir ia melihat target. "Hampir itu tidak cukup bagus."
Aku mengirimkan aliran listrik seketika dari alat di telunjukku pada target yang tersisa. Seranganku tepat sasaran. Akan tetapi, di waktu yang sama, seranganku pun nyaris mengenai seseorang dan hal berikutnya adalah pemandangan buruk yang paling tidak ingin kulihat. Setahun sudah sejak operasi sabotase Bombshell Blonde berakhir sukses, ada sebagian di organisasi ini diberi apresiasi. Sebagian lagi dijatuhi hukuman atas pelanggaran protokol dan sebagian orang itu adalah mereka. Tangan Krishna menarik kerah baju Indah tepat sewaktu kutembakkan listrik itu pada target yang baru muncul di depannya, kemudian merengkuhnya ke dada lelaki itu. Terlintas di kepalaku bahwa aku ingin mereka tersetrum saja dan berakhir sama seperti target-target hologram itu. Namun, itu mustahil. Aku menurunkan telunjuk dan memandang mereka sinis, seolah-olah menyalurkan seluruh gemuruh perasaanku.
"Nyaris saja," gumam Krishna.
Indah mengangguk cepat. Air mukanya masih sama terkejutnya seperti saat dia hampir tersetrum olehku walaupun dia masih bersikeras menyembunyikannya. Gadis itu berkata, "Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
5: Alligator Sky
Action[BOOK 2] Satu tahun setelah kematian Millie Ludlow lantas membuat pandangan Melati Johar terhadap dunia berubah. Dalam hidupnya hanya ada ketakutan dan kecemasan, yang membuatnya harus terus bersiaga setiap detiknya untuk bertahan hidup. Satu tahun...