PROLOGUE

5.3K 239 36
                                    

In the darkness, hope is something you give yourself. That is the meaning of inner strength.” –Iroh

***

UNTUK kesekian kalinya aku bertanya: sudah berapa kali tragedi ini menimpa hidupku? Orang-orang pernah berkata, kalau sebelum kita dilahirkan ke dunia ini, kita dijejalkan pertanyaan—tentang kehidupan dan kesanggupan. Entah apa yang terlintas di benakku kala itu, yang justru membuatku menyanggupi semua penawaran itu—penawaran kehidupan, lika-likunya, dan enigma takdir. Ini gila. Dari sekian juta kemungkinan, kenapa? Kenapa harus Spectre? Akan tetapi, aku pun menyadari bahwa sudah tidak ada gunanya menyesali yang telah lalu. Aku meluruskan pandang, menembus gelap ruangan, dan menajamkan insting. Ada setidaknya ratusan kali aku mengerling ke kanan, lalu ke kiri dengan cepat dan waspada. Berjaga-jaga kalau si Keparat itu mendadak muncul bagaikan hantu.

Langkahku bergerak maju, pelan, tetapi pasti. Kuraba-raba sekitar dengan teliti, menebas pekatnya gulita di ruangan itu seraya mencari jalan keluar. Sayup, aku mendengar derit pintu yang terbuka di belakangku. Mendadak, aku membeku. Tubuhku benar-benar mati rasa. Entah apa yang terjadi, aku sama sekali tidak bisa menggerakkan kaki dan tanganku. Lampu ruangan itu seketika menyala—begitu terang hingga aku dapat melihat isinya. Ruangan serba putih yang cukup untuk membuatmu gila dalam sekejap mata. Suara lembut seorang lelaki pun merebak, tetapi intonasinya terdengar mengintimidasi. "Jadi, kau yang pernah bekerja dengan M di organisasi keparat itu, bukan? Saya sempat dengar bahwa kalian akan kemari, tapi sebenarnya itu bukan masalah. Lagi pula, saya sudah tahu Operasi Aligator sejak lama."

Lelaki itu duduk di sebuah kursi, hanya sekitar empat belas langkah dariku. Dia memandangku seolah tengah mengejek dan merendahkan. Kedua tangan lelaki itu menopang dagu, kakinya menyilang seakan-akan menandakan superioritas. Netraku menyipit, bersiap-siap kalau si Keparat ini berulah. "Baiklah, sekarang kau mendapatkanku. Siapa kau dan apa maumu?"

"Sungguh, maksudmu kau belum tahu? Kau sudah melihat kemiripan keluarga, bukan? Ini petunjuknya." Lelaki itu pun mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih dingin dan datar, menirukan gaya bicara Krishna. "Aku sedang tidak ingin membahas kakakku atau keluargaku."

Ya, mereka berdua benar-benar mirip. Tidak salah lagi. Wajahnya, caranya dia tersenyum, hingga sepasang bola mata cokelat terang yang teduh, tetapi tajam. Aku tidak tahu kenapa mereka berdua benar-benar berbeda. Seburuk apa pun sifat Krishna pada semua orang, paling tidak, dia tidak semenjengkelkan lelaki ini. Namun, satu hal yang benar-benar bisa kulihat dalam sorot mata lelaki ini, ada kebohongan terpancar di sana. Aku hanya diam, memandang lelaki keparat itu dengan datar dan menyelisik semua kebohongan yang dia sembunyikan. Dia berkata lagi, "Tidak apa-apa. Kau boleh tertawa. Ini lucu."

"Jadi, maumu apa sekarang?" tanyaku, waspada.

"Sekarang?" ulangnya. "Sekarang sudah berakhir. Kau sendirian dan tidak bisa kabur lagi. Kau bisa saja lari, tapi saya akan mengejarmu."

"Aku tidak akan lari," kataku.

Lelaki itu tersenyum miring, seolah dia sudah mengendus aroma kemenangan yang akan didapatkannya. Aku tahu dia berbahaya dan bisa terlalu nekat—dari semua hal yang sudah kami lalui dalam operasi ini. Aku harus berhati-hati atau insiden Millie Ludlow bisa terulang lagi hari ini. Itu akan merepotkan. Satu kali merasakan nyawaku hampir berada di ujung tanduk itu sudah terlalu banyak. Ekor mataku menangkap sesuatu, yang justru refleks mengibarkan seringaiku. Di saat itulah, aku tahu bahwa tugasku sudah selesai. Lelaki itu bertanya, "Jadi, kau benar-benar ingin melawanku?"

"Bukan aku," kataku. "Dia."

Di belakang lelaki itu, aku menyaksikan Krishna melompat maju, mengayunkan belatinya, berniat untuk menebas leher sang Kakak.

Tumpahan darah pun menciprati lantai berubin itu.

5: Alligator SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang