15-Sebuah Rahasia

5.8K 684 69
                                    

"Din, kemarin pas lo jemput gue gak bertemu dengan orang lain kan?"

Aku mengernyit ketika mendengar pertanyaan Yoga di sela-sela jam makan siang kami. "Maksud Lo siapa? Gue sibuk ngurusin lo mana sempat gue lihat siapa lagi selain Banu," jawabku cuek.

"Ya syukur deh kalau begitu, btw terima kasih ya semalam udah jemput dan anterin gue," balasnya sambil mengacak rambutku asal.

Aku mengerutu kesal dengan sikap Yoga yang selalu seenaknya ketika kami berada di kantor. Ya kita sahabatan tetapi kalau begini jadi gak enak sama teman yang lain.

"itu  untuk terakhir kalinya gue ikut campur, malas! Besok-besok ponsel gue akan gue matiin."

"Ya elaah sama sahabat sendiri lo pelit banget."

"Bukan pelit namanya  tapi lo itu keterlaluan banget. Coba lo ubah kebiasan buruk lo kemudian cari cewek buat dijadiin pacar jadi gak kesepian."

"Kayak lo gak kesepian aja," ejeknya kemudian kubalas dengan tendangan di tulang keringnya membuat Yoga menggerutu.

"Galak banget lo jadi cewek Din!" Bentaknya sebelum pergi meninggalkanku. Aku tersenyum menang ketika melihat Yoga dengan tampang kesalnya meninggalkanku.

Gak sopan banget Yoga ninggalin aku sendirian di kantin. Oiya kemarin aku mendapatkan undangan pernikahan teman semasa kuliahku yaitu Aldi dan Abel. Ternyata jodohnya Abel gak jauh-jauh yaitu temannya kami sendiri. Jika membayangkan kisah mereka dahulu selalu diisi dengan pertengkaran ketika bertemu namun enam bulan yang lalu aku mendengar kabar jika Abel dan Aldi jadian dan beberapa bulan kemudian aku mendapatkan undangan pernikahan dari mereka. Aku merasa sangat senang ketika mendengar kabar bahagia ini.

Yoga merengek padaku agar menjadi partnernya ke pesta pernikahan Abel dan Aldi akhir pekan ini. Aku ingin menolak karena aku pasti bakal lembur di akhir pekan namun mengingat jika kedua temanku yang akan menikah akhirnya aku menerima ajakan Yoga. Hitung-hitung aku juga tidak memiliki partner untuk diajak ke kondangan.

Tiba-tiba ponselku berdering menandakan ada panggilan. Keningku mengernyit ketika melihat bunda menghubungi.

"Halo, Assalamualaikum Bun...."

"Waalaikumsalam, kamu lagi sibuk Nduk?"

Aku tersenyum, " Gak kok Bun, ini lagi di kantin jam istirahat. Ada apa Bun? Bunda baik-baik saja kan." Tanyaku mulai sedikit khawatir.

"Bunda baik saja, bunda kangen pengen dengar suara kamu."

Aku meringis karena beberapa hari ini tidak sempat menghubungi beliau dikarenakan jam kerjaku yang lumayan apdat sehingga mengharuskan untuk lembur. 

"Maaf ya Bun, belakangan ini Dini sibuk jadi gak sempat nelpon bunda, dan maaf Bun Dini belum bisa balik ke Solo."

"Gak apa-apa sayang, kamu jaga kesehatan ya."

"iya, bunda juga ya. Oiya nanti malam Dini hubungi bunda lagi ya, Dini keburu masuk," ucapku sopan sebelum kembalo ke ruanganku.

Gita, Fadli dan Ridho sudah menungguku, kami berempat memang berencana untuk menyelesaikan proyek ini secepat mungkin.

"Maaf saya terlambat," ucapku sambil membawa tiga gelas cappucino dingin untuk teman minuman siang ini.

"Terima kasih ya Mbak Dini."

Aku tersenyum dan senang memiliki partner kerja seperti mereka. Setidaknya dengan melakukan pekerjaaan ini akan membantuku melupakan hal buruk yang terjadi belakangan terutama sejak bertemu kembali dengan Rega kemarin malam. Aku tidak bisa terlelap tidur hingga menjelang subuh.

InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang