DY. 1_ Sedangkan aku?

38.2K 1.1K 155
                                    



"Dim."

Aku melamun lagi. Suara Mbak Laras meniupku kembali ke dunia nyata. Di hadapanku, terhampar tumpukan kotak tissue yang sedang ku-stock opname mingguan. Sementara di pelukanku, check list di stock sheet-ku tidak bertambah sejak setengah jam yang lalu. Aku memikirkan Yusuf lagi, memikirkan rasa bibirnya yang melekat tak mau pergi.

"Lebih baik, coba kamu lebih banyak senyum, ya?" Mbak Laras menambahkan. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman yang berulang kali diingatkannya setiap kali aku mendapat teguran.

Kenapa aku tidak bisa tersenyum semudah Yusuf? Kalau saja aku memiliki setengah saja dari kemampuan Yusuf memikat hati orang lain dengan senyum yang menawan, aku pasti tidak akan melulu gagal mendapatkan promosi jabatanku.

Senyum, Dimas. Aku tersenyum. Kudekati sebuah cermin yang tergantung di samping pintu masuk gudang penyimpanan. Kutatap pantulan wajahku dan kulihat seorang pemuda berkulit putih yang tengah kebingungan. Wajah pemuda itu sendu, bukan masam. Ini bukan aku yang selama dua puluh dua tahun ini kulihat di cermin. Meski kutarik kedua sisi bibirku agar menampilkan senyuman simetris yang menyenangkan, aku tetap tidak bisa memberikan kesan bahwa aku bahagia dalam senyuman itu.

Apa bedanya senyumanku dan senyuman Yusuf? Kenapa senyuman di wajah Yusuf bisa begitu hangat dan menyejukkan hati? Bahkan ketika dia tidak tersenyum pun, wajahnya seakan memamerkan betapa luas hatinya, betapa bisa diandalkannya dia. Seharusnya aku bertukar tempat dengan Yusuf, atau setidaknya aku memintanya mengajariku bagaimana memberi kesan reliable tanpa aku harus berusaha keras. Supaya poinku tidak terus menerus turun karena kertas keluhan dari konsumen, sebagus apapun kinerjaku.

Aku melemparkan clipboard ke atas meja. Sepeninggal Mbak Laras, konsentrasiku malah buyar sepenuhnya. Aku terus menerus mengulang menghitung dari awal karena lupa menekan alat penghitung digitalku di tengah hitungan. Bagus. Sekarang, aku pasti akan dipecat. Jika dulu masalahku hanyalah kertas keluhan dari konsumen, kini bahkan kinerjaku pun akan terjun bebas.

Aku melihat jam di dinding, lembur pun sepertinya akan percuma. Lebih baik aku pulang, kan? Mungkin, kalau aku mengeluh kepada Yusuf, dia akan menenangkan insekuritas yang akhir-akhir ini menghantuiku. Aku ingin dia memelukku, seperti tadi malam. Mungkin kalau aku benar-benar menjadikannya milikku, aku akan terbebas dari lamunan-lamunan yang mengganggu konsentrasiku dalam bekerja.

"Lembur, Dim?" Bagas melintas.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, sebab aku tahu Bagas tidak benar-benar ingin mengetahuinya. Dia hanya bertanya karena dia kebetulan berjalan melewatiku.

"Dim!"

Mataku mengerjap. Di dinding, jarum panjang jam sudah berpindah angka dari sejak terakhir aku mengabaikan pertanyaan Bagas. Kini, Bagas sudah kembali berdiri di hadapanku, seragamnya sudah berganti pakaian biasa. "Kamu nih kalo ditanyain orang, nggak merhatiin!" katanya.

"Oh. Sorry..." Aku berdiri. "Aku pikir kamu cuma iseng nanya."

"Iya memang nggak ada maksud apa-apa juga, sih, tapi kan nggak ada ruginya kalo kamu jawab."

"Aku nggak lembur," jawabku.

"Yaudah aku duluan, ya?"

Aku mengangguk dan mengembuskan napas pelan, selanjutnya aku masuk ke ruang loker setelah Bagas pulang. Sambil mengganti bajuku diruang ganti, aku membuka ponsel dan menemukan satu pesan dari Yusuf.

Aku tunggu di luar, ya? Bunyi pesannya.

Kuketik iya dan kukirim pesan balasan.

Yusuf ternyata punya perasaan yang sama denganku. Sedikitpun aku nggak menyangka bahwa ternyata dia sukanya laki-laki juga. Lebih tak kusangka lagi, ketika dia menemukan setumpuk benda kenangan lama kami masih tersimpan rapi olehku, dia mengaku bahwa dia juga menyimpannya. Foto, kartu ulang tahun, kado selama kami menghabiskan waktu di SMP. Semua dia simpan karena (ternyata) dia menyukaiku.

Dimas dan YusufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang