Seperti janji sebelumnya, adegan berkonten seksual di part ini sudah dihapus pada 4 September pukul 23.59WIB
Tenang aja, sisanya masih ada. Yang dihapus bisa diringkas dalam beberapa kata, kok. Mereka having make up sex. LOL.
Enjoy!
Oh Tuhan ... betapa nikmatnya berada dalam pelukan orang yang dicintai. Aku mengeratkan pelukanku di tubuh Yusuf setelah kami selesai bercinta. Yusuf mengecup keningku dan membiarkan bibirnya diam di sana. Aku hanya memejamkan mata, merasakan indahnya perasaan yang meluap karena bahagia.
"Ilyas tadi pagi kemari ..." aku memberi tahu Yusuf.
"Maka dari itu aku memberanikan diriku kemari, Dim," aku Yusuf. "Aku mengikutinya, dan kulihat dia berbincang-bincang dengan David di mulut gang."
Aku terdiam, aku juga melihatnya. "Apa yang mereka bicarakan, Suf?"
"Aku tidak tahu. Aku belum sempat bertanya, kulihat dia mengurungkan niatnya dan berlalu pergi. Apa David mengenal Ilyas?" Yusuf membelai rambutku, matanya menerawang di langit-langit kamar.
"Ilyas juga sekolah di THB," tukasku.
"THB?"
"Tunas Harapan Bangsa," aku menguraikan untuknya "Sekolahku dan Rio. Juga David. David mendekatiku karena dia tahu aku alumni THB. Dia tahu kita bersama karena Ilyas ada di grup yang sama dengan David. Grup alumni. Mungkin dari situ mereka mencocokkan kita berdua."
Yusuf mengangguk-angguk. "Aku baru tahu kalau Ilyas sekolah di sekolah asrama pria. Dia nggak pernah cerita. Apa yang dikatakan tentang David mengenai aku dan Ilyas? Apa dia yang mengotori pikiranmu sehingga kamu menduga ada apa-apa di antara aku dan Ilyas?"
Aku menggeleng. "David tidak pernah mengungkap apa pun. Mungkin, dia banyak mendengar mengenaimu dari Ilyas. David sendiri kelihatannya tidak yakin apa hubungan kalian berdua, dia tidak pernah menjawab kecurigaanku. Bahkan, dialah yang nganter aku kos-mu waktu itu. Ilyas-lah yang bikin aku punya pikiran yang enggak-enggak soal kalian berdua."
"Bukan David?"
"Bukan ...!"
"Hmmm ...," dengus Yusuf, kulihat keningnya mengerut dalam. "Sejak aku bilang aku ingin menemuimu untuk menyudahi semuanya dengan terang-terangan, dia mulai kelihatan khawatir. Membuatku curiga. Dia juga meyakinkanku kalau ada sesuatu antara kamu dan David. Kupikir Ilyas hanya mengintai karena dia ingin aku dan kamu beneran udahan, sewaktu aku melihat mereka berdua tadi pagi, aku baru curiga mereka saling mengenal."
"Tuh kan!" seruku. "Memang kawanmu itu yang buruk niatnya!"
Yusuf tidak menimpali, tapi dari caranya mengelus kepalaku, aku tahu dia punya pendapat yang sama. "Kamu yakin David nggak menyimpan perasaan apa pun ke kamu?"
"Dia straight ...," ucapku, meski mengambang. Jujur saja, aku masih belum bisa menganggap kebaikan David sepenuhnya tulus. Caranya memperlakukanku terlalu berlebihan, oleh karena itu aku kadang bersikeras bahwa dia memiliki perasaan yang lain terhadapku. Namun kalau iya, kenapa dia selalu menolakku? Saat dia menginap pun, dia tidak berusaha menyentuhku.
"Aku masih merasa ... bahwa David ini memang sengaja memperlihatkan ke kamu kalau ada yang nggak beres antara aku dan Ilyas, meski dia tidak tahu persis apa itu. Kalau dia menyukaimu, segalanya akan lebih mudah ditebak motif tindakannya. Namun kalau tidak ... aku jadi bertanya-tanya, apa maksudnya?"
"Mungkin dia hanya baik?" aku mengusulkan kemungkinan. Namun kerutan di dahi Yusuf malah bertambah banyak.
"Apa kalian berdua dekat semasa di THB?" tanyanya, alih-alih.
"Aku bahkan nggak pernah melihatnya selama di THB," jawabku enteng.
"Lantas ... bagaimana kamu tahu dia berkata benar tentang itu? Dia ngasih bukti apa, kok kamu bisa yakin dia jujur?"
Aku menelan ludah, Yusuf tidak pernah mendengar kisah Rio yang menggemparkan seantero Tunas Harapan Bangsa. Aku belum pernah sekali pun menceritakan dengan gamblang bahwa insiden praktik homoseksual itulah yang membuat adikku dikeluarkan dari sekolah. Hanya orang-orang THB yang tahu, karena David tahu jugalah makanya aku yakin David alumni sekolahku.
"Pokoknya aku tahulah!" kibasku, nanti sajalah kapan-kapan aku ceritakan ke Yusuf.
"Apa dia juga tahu mengenai Rio?" Yusuf bertanya santai, sontak, aku menegak dari berbaringku. Membuat Yusuf tersentak oleh reaksiku.
"Kamu tahu apa mengenai Rio?"
"Mengenai Rio? Mengenai dia dikeluarkan dari sekolah dan ditolong sama Pak Senna?"
Mataku makin membulat, ya ampun ... jadi Yusuf sudah tahu?
"Aku tahu dari Pak Senna, sudah agak lama. Sebelum ayahmu nggak ada. Pak Senna sempat cerita kok ke aku. Tunggu dulu ... jangan-jangan kamu nggak berniat menceritakannya ke aku ya, Dim?"
Aku menggeleng, kemudian menandaskan tegas. "Itu aib. Aku malu. Aku nggak ingin siapa pun memandang rendah adikku karena itu!"
"Aku nggak pernah menganggap hal itu aib. Kamu pikir aku jenis manusia yang suka menghakimi orang lain? Untuk mengingatkanmu juga, aku juga gay. Mana mungkin aku memandang sesamaku dengan pandangan seperti itu? Jangan picik, Dimaaas!" ujar Yusuf gemas, dipijitnya hidungku, sebelum digantikannya dengan ciuman yang teramat manis.
Aku menggurutu karena malu.
"Belum tentu David ini memang orang Tunas Harapan Bangsa," Yusuf berspekulasi lagi, tapi aku tidak terlalu mendengarkannya. Malahan, aku kembali teringat pada kue bronisku yang terbengkalai. Juga es krim vanila yang seharusnya dibeli oleh David. Sekonyong-konyong, aku bangkit dari dudukku sambil meraih selimut.
"Maksudku ..." kata Yusuf. "Aku merasa bisa saja cerita dia alumni THB ini dibuat-buat."
Aku mengenakan celana dalam dan kausku, meninggalkan Yusuf ke dapur untuk menengok kue bronis. Mulutku mengumpat kecil karena beberapa ekor semut sudah mulai berdatangan. "Suf ...," panggilku. "Beliin es krim vanilla dong buat makan bronis," aku meminta.
"Lagi pula ...," Yusuf tidak menanggapi. "Aku seperti pernah melihat David ini entah di mana. Dia mirip seseorang, tapi aku nggak ingat siapa. Coba deh nanti kutanyakan ke Ilyas, apa benar mereka lulusan THB atau bukan."
"Suf ...!" panggilku lagi, dari dapur.
Perutku lapar, aku ingin es krim vanila, dan tidak terlalu peduli mengenai siapa sebenarnya David.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dimas dan Yusuf
Genel KurguDari sekian banyak nama Yusuf, aku sudah kehilangan harapan menemukannya kembali. Di ujung penghabisan harapanku, dia yang kupuja kini berdiri membelakangi sinar matahari sore yang menggelimantang. Membias bening warna kulitnya. Membuat sosoknya men...