DY. 9_Blind Jealousy

9K 604 231
                                    


It's not love that is blind, It's jealousy.

"Dimas, laporan yang diminta Hendy udah kamu serahin?"

Peganganku di kotak berisi tumpukan deterjen Rinso kemasan 900gram yang kugotong bersama Firman terlepas, aku mengaduh karena satu tanganku tidak mampu menahan beratnya. Akhirnya, aku melepaskan sisi yang kupegang sekalian, untung di saat yang sama Firman juga melepaskan pegangannya, sehingga kotak terjatuh di lantai pada posisi sejajar.

"Mas Dimas nggak apa-apa?" tanya Firman, bersikap sopan sebagai junior.

Aku mengangguk, kemudian melambai kepada Fatoni supaya menggantikanku.

"Belum, Mbak," jawabku pada Mbak Laras. "Aku selesaiin habis nge-layout buat deterjen yang baru datang ini."

"Biar diawasin Fatoni, Dim. Takutnya nanti Hendy datang, kamu belum siap. Dia lagi senewen akhir-akhir ini gara-gara dua cabang lain yang dia pegang masih belum BEP udah setahun lebih. Aku tungguin, ya? Tinggal kamu salin, kan?"

Kalau Mbak Laras sudah bilang begitu, aku tidak sanggup membantah. Dia adalah orang yang paling baik kepadaku, selalu berusaha ngelindungin aku, seperti adiknya sendiri. Setelah menjelaskan ala kadarnya kepada Fatoni, aku kembali ke belakang, duduk di depan komputer dan menyalin laporan. Mbak Laras juga langsung sibuk di depan layar komputer.

Pekerjaan ini sebenarnya sudah kuselesaikan dari kemarin, kusimpan dalam flashdisc, dan ceritanya mau aku periksa lagi semalam. Kalau semuanya nggak kacau gara-gara aku berantem lagi sama Yusuf, kerjaan ini udah nangkring gagah di meja Hendy dari tadi pagi. Tadi pagi aku bangun awal untuk mengulang lagi, tapi ini masih nyisa setengahnya. Nggak enak hati rasanya sama Mbak Laras, nggak biasanya aku menunda kerjaan kayak gini.

Yusuf ngamuk karena aku baru cerita soal David. Aku mendengus berat. Aku sendiri nggak habis pikir kenapa dia bisa semarah itu hanya karena aku punya kawan laki-laki tanpa sepengetahuannya. Menurutnya, aku nggak punya niatan buat cerita, kalau saja kami nggak bertemu David di show case Mocca itu. Yang sebenarnya memang benar, aku tidak berniat membeberkannya setelah apa yang diungkap David sebelumnya. Aku berniat menjauhinya, supaya Yusuf nggak tahu aku pernah kenal David sekalian.

Yang namanya niat buruk, ada aja caranya buat gagal.

Karena disapa di tengah show case, aku menyembunyikan perasaan nggak-sukaku akan kehadiran David. Pikirku, Yusuf akan makin curiga kalau aku bersikap kesal, takutnya dia malah mengorek lebih jauh. Aku nggak mau aja Yusuf memperpanjang masalah, menanyai siapa kawan yang menyebarkan aibnya kemana-mana kepada David, yang ujungnya ribut-ribut. Aku ingin menekan kemungkinan kabar itu sampai di telinga orang-orang kantor. Bisa saja, kan, kalau aku membuat David merasa jengkel, kemudian dia membeberkan berita itu. Kalau pun aku menyangkal, orang tidak akan serta merta nggak percaya.

Oleh karenanya, aku menyambut David dengan ceria, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Siapa yang menyangka, sepanjang perjalanan pulang Yusuf diam seribu bahasa. Di kamar, dia hanya menjawab pertanyaanku dengan jawaban-jawaban pendek. Saat aku bertanya kenapa, dia naik pitam. Menuduhku menyembunyikan sesuatu, bahkan menuduhku selingkuh. Kami bertengkar hebat, aku mulai melempar barang-barang karena kesal dimarah-marahin. Yusuf pergi tanpa minta maaf, dan pagi harinya aku kehilangan flashdisc berisi laporan pekerjaanku.

Untungnya, Hendy terlambat datang dari jadwal kunjungannya. Saat dia tiba, laporanku sudah selesai, bahkan sudah sempat dicek oleh Mbak Laras. Aku kembali bekerja dengan tenang, meski isi kepalaku ruwet memikirkan kelanjutan hubunganku dengan Yusuf.

Aku harap, itu hanya emosi sesaat saja.

Maksudku, tidak semua kawan pria Yusuf kukenal. Kalau suatu waktu aku dikenalkannya kepada salah seorang di antaranya saat kami berpapasan di jalan secara kebetulan, aku tidak akan marah. Kenapa dia harus cemburu buta?

Dimas dan YusufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang