Rejection

162 28 4
                                    

Matahari telah sempurna menghilang ditelan cakrawala. Hiruk-pikuk orang-orang memadati jalanan Kota Berlin, mereka tengah bergegas menuju rumah masing-masing.

Wajah-wajah kelelahan mereka terpampang jelas dari sudut mata mereka yang sayu.
Ara memandang kesibukan tersebut dari dalam café tempatnya bekerja.

Tiga puluh menit yang lalu, café nya telah tutup dan sekarang waktunya Ara untuk pulang kerumahnya, seperti yang dilakukan orang-orang diluaran sana.

"Selamat malam semua, aku pulang duluan." Ara tersenyum sambil melambaikan tangan kepada rekan kerjanya yang lain. Ia berjalan menuju pintu keluar,

"Tunggu, Ara!" Langkahnya terhenti, Ia pun berbalik kebelakang.

Yang memanggilnya adalah Edward, pemilik café yang cukup terkenal di Kota Berlin ini-alias bosnya-

"Yes,Sir?"

"Oh ayolah, jangan memanggilku seperti itu."

"Baiklah, ada apa Edward?"

"Em..mau kuantar kau pulang?"

"Huft,mulai lagi." batin Ara.

Ara sudah paham maksud Edward. Ia pasti ingin menanyakan jawaban dari pertanyaan yang diberikan Edward padanya minggu lalu.

Flashback~

Kini Ara dan Edward tengah berada di Grunewald, area hijau di Berlin yang dibangun diatas tanah seluas 3000 hektar.

Ara tidak mengerti maksud Edward membawanya kemari.

"Kenapa kita kesini? Bukankah kau bilang akan mengantarku pulang?"

Edward tersenyum menanggapinya, Ia pun berlutut dihadapan Ara, membuat Ara membulatkan kedua matanya.

"A-apa yang kau lakukan?"
Ara mulai gelisah, karena mereka berdua mulai menjadi pusat perhatian.

"From the first time I saw you, I was falling in love with you. So that's why I don't wanna wait any longer to say this to you. Ara, may I be your boyfriend?"

"E-dward.."
Ara mundur selangkah lantas berlari meninggalkan Edward yang terus memanggil namanya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan cinta Edward, siapa pula yang berani menolak laki-laki berparas tampan seperti Edward.

Hanya saja Ara tahu bahwa sahabatnya, Eileen, yang juga bekerja di café itu, telah lama menyukai Edward.

Flashback off~

"Mau kan?" Membuyarkan lamunan Ara.

"Ti-dak usah, terima kasih Edward."

Edward menghembuskan napas pelan.

"Apa..masih belum ada jawaban untuk yang waktu itu?" Tanyanya pelan.

"Oh, untuk itu.."

Ia akan merasa bersalah jika mengatakan tidak secara terang-terangan,

Ia merasa semakin bersalah saat matanya bertemu dengan mata Eileen yang sedang mengamati Ara dan Edward dari kejauhan.

Ara bimbang, jika Ia menerima Edward, ia akan menyakiti perasaan Eileen, tapi jika ia menolak, itu juga akan menyakiti perasaan Edward.

Ara menarik napas dalam, mencoba mencari kekuatan.

"I'm sorry, we souldn't be together, Edward. There are many good girl more than me in this world, I'm sorry.."

Ara terus menunduk, tak berani menatap wajah Edward. Tak lama kemudian, ia mendengar Edward tertawa, bahkan tawanya terdengar hambar.

Ia pun memberanikan diri mengangkat wajahnya, ia melihat sekeliling, ternyata sedari tadi rekan-rekan kerjanya tengah menonton kejadian ini.

"Aku sedang ditolak rupanya..haha."

"Edward, aku-" Ara menatap Edward dengan perasaan bersalah.

"Sudahlah, tidak usah dipikirkan, aku sadar kalau aku terlalu terburu-buru, jadi lupakanlah!"

Edward tersenyum, Ara tahu betul kalau itu adalah senyum yang dipaksakan.

Lalu Ara menoleh kearah tempat tadi, tempat dimana Eileen berdiri. Ternyata Eileen sudah tidak ada disana.

Ia kembali mengarahkan pandangannya pada Edward.

"Sekali lagi maafkan aku. Sampai jumpa Edward, aku pulang dulu."

Ara segera berbalik, dan pergi meninggalkan café. Selepas kepergian Ara, Edward tertunduk dan bergumam sedih.

. . .

Di perjalanan pulang, Ara berjalan dengan langkah gontai, ia terus menunduk sembari merenungi semua yang baru saja terjadi.

"Aku telah menyakiti perasaan keduanya. Ya Tuhan! Betapa jahatnya aku.."

Bugh

"Oh astaga!"

Ara terkejut karena telah menabrak sesuatu yang ia pikir sebuah benda. Ia pun mendongak untuk melihat,

"Astaga!" Ia memekik pelan saat tahu bahwa ia telah menabrak seseorang, bukan benda.

"Tuan, kau baik-baik saja?" Tanya Ara panik karena pria itu langsung tersungkur kebawah.

Bukannya menjawab, si pria tersebut malah bergumam tidak jelas, saat ara mencoba mengguncangkan tubuh pria itu untuk menyadarkannya tiba-tiba pria asing itu memuntahkan isi perutnya mengenai baju Ara.

"Aaaa!! Ya tuhan bagaimana ini? Tuan, dimana rumahmu?" Ara semakin panik.

Masih bergumam tidak jelas, pria itu langsung pingsan.

Jika ia biarkan saja pria itu disini, itu akan membuatnya terlihat tidak berperikemanusiaan, akhirnya ia memberhentikan taksi dan dengan susah payah membawa pria itu ikut bersamanya.

"Oh shit! Today was bad day ever." gumam Ara pada dirinya sendiri.

* * * * *

If u like this story, dont forget to vote and comment below!

And follow my instagram to see my random feeds xoxo : @anisnndn

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang