"Apa kau tahu siapa gadis yang sedang disukai Galvin?" Tanya Ansel saat sedang berbincang dengan Albert di ruang kerjanya.
"Apa? Apa dia bilang menyukainya? Dia bahkan tidak mau menatap wajahnya saat bertemu di cafe. Sekarang dia bilang menyukainya? Bagaimana mungkin? Dasar pria licik itu." Albert mengumpat membuat Ansel menyatukan kedua alisnya.
"Memangnya apa yang terjadi antara mereka sebelumnya?"
"Kau tahu Galvin tidak pernah pergi ke bar. Beberapa hari yang lalu dia pergi kesana dan berakhir dengan pertengkaran yang memalukan dengan wanita itu."
Melihat Ansel yang masih kebingungan, akhirnya Albert menceritakan semua kejadian yang pernah Galvin ceritakan kepadanya.
"Ck dasar bocah itu, mencoreng martabat keluarga Fritz saja! Tadi kau bilang kau punya data tentangnya? Berikan padaku." Titahnya.
"Emm.. Tapi aku harus bilang ke.. Hmm okay baiklah kak." Akhirnya ia menurut saat melihat Ansel menyipitkan mata kepadanya. Ia melenggang pergi dan kembali dengan membawa amplop berisi data itu.
. . .
Setelah membaca semua lembaran itu, Ansel melemparnya ke atas meja. Ia lalu bangkit dan menyambar kunci mobil.
Ansel berdiri di depan sebuah cafe, ia menghembuskan napas kasar dan dengan langkah berat berusaha masuk ke cafe itu. Ansel menatap ke sekeliling dan pandangannya terhenti saat melihat gadis itu. Gadis yang sama persis seperti di foto yang Albert berikan. Gadis itu tengah melayani pelanggan sambil tersenyum ramah.
"Sial! Dia sangat mirip dengan wanita itu. Bodoh sekali Galvin tidak menyadarinya."
Umpatnya dalam hati. Ia mengepal tangannya menahan emosi di dalam hatinya keluar."Selamat siang Tuan. Apa anda ingin mencari tempat duduk? Mari saya antar ke tempat yang kosong Tuan." Ara menyapa dengan senyum yang sedari tadi tidak memudar.
"Senyumnya bahkan sangat mirip."
Tanpa menjawab gadis itu ia langsung berbalik dan pergi meninggalkan Ara yang dilanda kebingungan. Ara merasakan ada yang mengganjal saat pria itu terdiam dan hanya menatapnya. Ia merasa seperti tatapan itu memang ditujukan untuknya, tatapan kebencian.
Ara berusaha menepis pemikiran konyolnya itu.
"Tidak, tidak mungkin. Aku bahkan baru pertama kali melihatnya." Ucapnya pada dirinya sendiri.. . .
Ansel membanting pintu mobil saat memasukinya, ia mengepalkan erat tangannya pada stir mobil.
"Shit!"
Ia membanting stir dengan kasar dan melajukan mobilnya menuju kantor.
Di kantor ia tak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Ia masih tidak menyangka bagaimana mungkin dunia sesempit ini hingga adiknya harus bertemu dengan gadis itu.
Sampai sebuah ketukkan pintu membangunkan lamunannya."Kak ayo kita lunch. Aku ingin mengajakmu ke sebuah cafe." Ucapnya dengan penuh semangat.
"Kemana?" Tanya Ansel sambil mencoba menarik bibirnya untuk tersenyum.
"Ke cafe tempat dia bekerja. Ya dia, Arabella." Senyum Galvin terukir di wajahnya.
Deg
Ansel mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya agar tetap tenang. Ia tidak ingin adiknya mengetahui yang sebenarnya. Belum saatnya, ia tidak ingin menghancurkan kebahagiaan adiknya yang baru ia lihat setelah bertahun-tahun lamanya.
"Lebih baik kita makan siang di rumah. Biar aku yang masak. Selagi aku disini aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan adikku saja. Ah jangan lupa ajak Albert, dia juga adikku."
Galvin hanya manggut-manggut patuh. Ansel menghela napas lega. Mereka bertiga pun melesat menuju mansion megah itu.
. . .
"Apa hanya aku disini yang sibuk sendiri? Kau tidak ada niat untuk membantu?" Ansel protes sambil mengaduk-aduk spaghetti buatannya.
"Tadi kan kakak bilang akan memasak untukku. Jadi tugasku hanya makan saja." Galvin kembali mengalihkan perhatiannya pada game di ponselnya.
Albert yang dengan polosnya muncul membawa snack dipelukkannya yang dia ambil dari kamar Galvin. Ia berjalan santai sambil memakan snack itu.
"Why?" Mulutnya berkata tanpa bersuara kepada Ansel yang menyipitkan mata sambil tersenyum evil ke arahnya.
"Kemarilah." Sambil melambaikan tangannya ke arah Albert.
"Kau lanjutkan mengaduk, perutku tiba-tiba mulas." Ia menyodorkan spatula dan bergegas menjauh. Namun bukannya pergi ke kamar mandi Ansel malah duduk di kursi di sebelah Galvin.
"Hey kak! Kau bilang mulas tapi kenapa diam disitu?!" Albert protes sambil mengarahkan spatula ke arah Ansel.
"Iya aku mulas kalau berdiri terus ckck." Albert menatap kesal kakak non-biologis nya itu.
5 menit kemudian makanan pun jadi, Albert menuangkan spaghetti ke piring dan menghias piring itu ala master chef.
Mereka menyantap masakan kakaknya yang entah kenapa rasanya tidak pernah mengecewakan.Drrttt
Muncul sebuah notifikasi pesan di ponsel Galvin saat spaghetti nya masih tersisa sedikit lagi. Ia menyambar ponsel di sebelahnya dan hampir tersedak saat melihat nama Ara terpampang di lockscreen.
'Apa kau sudah makan?'
'Sudah. Ada apa?''Tadinya aku ingin mengajakmu makan sambil ada yang ingin ku tanyakan tentang Bahasa Korea.'
'Aku akan ke tempatmu sekarang. Tunggu 15 menit.'Galvin langsung berdiri dan menyambar jas nya. Ia hendak pergi saat Ansel menahannya,
"Mau kemana kau? Makananmu belum habis."
Ansel dan Albert menatapnya dengan tatapan bingung."Aku mau menemui Ara." Jawabnya singkat lalu bergegas melepas genggaman Ansel dan melenggang pergi.
Mendengar itu Ansel mengepalkan tangannya. Ia mendorong jauh piring makanannya dan menenggelamkan wajah di kedua tangannya.
"Kau kenapa kak?" Albert malah lebih bingung dengan sikap Ansel.
"Tiba-tiba aku pusing. Kau pergi duluan saja ke kantor, aku mau istirahat dulu." Ansel bangkit dan pergi menuju kamarnya.
Albert menghela napas pelan. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tidak ingin ambil pusing ia pun kembali memusatkan fokusnya pada spaghetti dan bersiap kembali ke kantor.
Di kamar Ansel membaringkan tubuhnya, ia terdiam sambil menatap langit-langit kamar.
"Huftt aku harus bagaimana Ayah?" Matanya beralih ke dinding tempat foto dirinya, mendiang ayahnya, dan Galvin dipajang. Ia memejamkan mata dan menghela napas berat mencoba menahan butiran air di matanya keluar.
* * * * *
If u like this story, dont forget to vote and comment below!
And follow my instagram to see my random feeds xoxo : @anisnndn
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
RomanceOrang yang mengakui cinta namun akhirnya dia penyebab luka