About Her

9 4 0
                                    

Ansel berjalan menuju kamar Galvin untuk mengajaknya makan malam. Saat sudah sampai di depan kamarnya, ternyata pintunya tidak tertutup sempurna. Gerakannya terhenti saat tangannya sudah memegang engsel pintu. Ia melihat Galvin yang sedang cengengesan sambil menatap ponsel. Ia menatap bingung pada adiknya yang sejak tadi bertingkah aneh. Ia tersenyum dalam hati.

"Semoga saja benar dugaanku, dia mulai menyukai seseorang." Pikirnya dalam hati. Ia akan sangat senang jika akhirnya adiknya itu bisa mulai membuka hatinya untuk seseorang. Karena semenjak kejadian itu, Galvin hanya terfokus pada pekerjaan dan buku-buku astronomi kesukaannya dan tidak pernah mencoba untuk mengencani siapapun.

"Waktunya menjahili adik kesayanganku.." Monster jahilnya mulai muncul lagi. Ia mendorong pintu kamar adiknya sambil menyeringai.

. . .

Matahari mulai menampakkan sinarnya. Galvin menggeliat saat sinar sang surya itu telah melintas di wajahnya melalui sela-sela gorden.

Ia segera bangun dan turun dari tempat tidur. Galvin berjalan menuju dapur dengan langkah berat, masih mengantuk.

"Good morning my lovely little brother." Ansel menyapa dengan celemek yang masih menempel di tubuhnya. Galvin yang nyawanya sudah mulai terkumpul, menatap Ansel bingung.

"Kemana para asisten rumah? Kenapa kakak yang masak?"

"Aku suruh mereka berlibur, selama aku disini biar aku yang masak. Ck! Kau ini dasar bos yang pelit libur." Tuturnya sembari menuangkan bubur ke mangkuk.

"What the.. bicara apa kakak ini? Pelit libur? Hahaha." Galvin tertawa geli mendengar perkataan kakaknya yang tidak jelas.

"Lalu yang membersihkan seluruh ruangan siapa?" Lanjutnya.

"Tentu saja kau." Jawab kakaknya santai. Galvin mendelik menatap kakaknya.

"Mwoya? michyeoss-eo?!" Bahasa Korea muncul begitu saja dari bibirnya.

"Wah sudah lama sekali tidak mendengar bahasa halmeoni." Ansel tersenyum kagum.

Setelah Ansel menuangkan bubur dan membawanya ke meja makan, mereka pun mulai melahap bubur yang rasanya sudah pasti enak itu. Ansel yang sudah bertahun-tahun tinggal di Inggris melanjutkan bisnis keluarga di cabang sana itu sudah terbiasa masak dan melakukan segalanya sendiri, karena ia tidak mau mengandalkan asisten seperti Galvin.

"Jadi siapa nama gadis itu?" Tanya Ansel ditengah sarapan mereka. Galvin tersedak mendengarnya dan langsung meraih minum dihadapannya. Ia terdiam sambil menggigit bibirnya.

"Arabella. Kami bertemu karena sebuah kejadian tidak menyenangkan, aku tidak ingin menceritakan kejadian memalukan itu. Intinya saat aku berusaha menghindarinya, dia justru selalu muncul dihadapanku. Saat melihatnya di perpustakaan kemarin, aku merasa jantungku sudah tidak berfungsi dengan benar, walau begitu entah kenapa aku merasa senang. Aku rasa aku tiba-tiba menyukai.. tidak, aku memang menyukainya." Galvin mengakhiri ceritanya setelah tadi terdiam cukup lama.

"Akhirnya adikku terlihat normal sekarang." Ansel mencoba menahan tawanya saat melihat Galvin melotot kearahnya.

"Okay okay, aku ikut senang mendengarnya. Semoga kau bisa mendapatkan gadismu itu." Ansel mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan mengakhiri candaannya.

"Oh iya, berapa lama kau akan disini?" Tanya Galvin.

"Hmm mungkin sekitar 1 sampai 2 bulan. Aku mau memeriksa kantor pusat. Aku mau bertanya kepada semua karyawan apa bos nya ini bekerja dengan benar. Kalau banyak keluhan dari mereka kau akan turun jabatan jadi office boy. Oh tidak! Mungkin saja aku harus disini sampai 1 tahun karena keluhan mereka tentangmu terlalu banyak. Iya kan?" Ansel kembali ke mode jahil.

"Enak saja! Aku ini bos yang baik hati dan tidak sombong. Lagipula kakak sendiri yang dulu menyuruhku untuk berada di pusat padahal aku ingin meneruskan untuk cabang di inggris, jadi jangan salahkan aku kalau nanti banyak keluhan dari mereka, mengurus kantor pusat tidak semudah kantor cabang!"
Kali ini Ansel tak berhasil menahan tawanya.

"HAHAHA.. Apa-apaan kau ini? Kau bilang bos yang baik hati dan tidak sombong, tapi seperti takut akan banyak keluhan."
Galvin menggeretak kesal. Walau tahu itu hanya candaan entah kenapa Galvin selalu kesal. Kakaknya ini memang tidak akan pernah bosan menjahilinya.

. . .

Galvin dan Ansel berjalan beriringan memasuki kantor mereka. Kedua pewaris yang berparas tampan ini berhasil menarik perhatian para karyawan. Mereka menunduk memberi hormat saat Galvin dan Ansel melewatinya.

"Wah lihat para pewaris FN Group."
"Itu dia kakaknya, sama-sama tampan."
"Damn! Kakaknya juga tidak kalah tampan."

Terdengar beberapa bisikan para karyawannya ke telinga Galvin dan Ansel.

"Kau dengar? Mereka bilang aku lebih tampan." Bisik Ansel sambil tertawa pelan.

"Jangan bercanda, siapapun tahu aku yang paling tampan di gedung ini." Ucap galvin percaya diri.

Tak lama mereka berdua tertawa bersama menyadari betapa konyolnya tingkah mereka itu.

. . .

Ansel berkeliling untuk menyapa para karyawannya dengan ditemani sekretarisnya yang ikut bersamanya dari Inggris. Ia tak berhenti tersenyum ramah sambil membalas sapaan mereka. Tak lama ia melihat sosok yang dikenalnya sejak lama, sosok yang ia anggap seperti adik keduanya setelah Galvin.

"Hallo sir, how are you? Long time no see."
Albert tersenyum sambil menunduk memberi hormat sama halnya seperti karyawan lainnya.

Bukannya membalas Ansel malah memeluk Albert sambil menepuk dan mengusap punggungnya.

"Ya Tuhan! Aku lebih merindukan adikku yang satu ini daripada yang satu lagi."

"Kau tidak berubah kak, masih suka bercanda."
Albert tertawa sambil membalas pelukan Ansel.

"Tentu saja! Aku tidak mau hidup membosankan seperti Galvin yang tidak pernah chill and enjoy."

"Hahaha.. Kau benar kak. Galvin sangat membosankan. Seperti wanita yang on period."

"Bingo! Kau memang sahabat Galvin."
Mereka tertawa bersama.

Di sisi lain, di ruang kerjanya Galvin merasakan telinganya berdengung. Ia merasa geli dan tidak menyadari penyebab telinganya seperti itu.

. . .

Di ruang kerjanya Ansel sedang membaca lembaran-lembaran yang pernah dibaca Galvin. Lembaran berisi data tentang Ara.

Ia menatap datar lembaran itu. Ia yang semula riang karena ingin mengetahui sosok gadis pujaan adiknya itu kini terdiam dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Ia tertunduk sambil mengusap kasar wajahnya.

"Dari sekian banyak wanita, kenapa harus dia?"

* * * * *

If u like this story, dont forget to vote and comment below!

And follow my instagram to see my random feeds xoxo : @anisnndn

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang