Deep 3 - Reckless

8.4K 500 7
                                    

Emmeline tersadar dari siuman beberapa jam kemudian, ia memegangi kepalanya yang pusing lalu terduduk diatas bangkar rumah sakit.

Pakaiannya sudah diganti dengan pakaian pasien rumah sakit, di tangannya sudah mengalir sebuah infusan.

Lantas Emmeline langsung mencopot selang tersebut menghiraukan rasa nyeri di punggung tangannya, berjalan keluar dari tempat dimana ia di rawat menuju resepsionis. Masih dengan baju pasiennya, ia mencari dimana lelaki yang terkena musibah karena dirinya. Ia berharap tidak terjadi apa-apa atau setidaknya tidak separah dugaannya.

"Permisi, bisakah kau beritahu dimana letak kamar yang beberapa jam tadi kecelakaan?" Tanyanya sambil memegangi kepalanya yang pusing.

"Ya tentu saja. Jika boleh tahu anda sendiri saudara atau kerabat pasien?" Tanya resepsionis tersebut sambil membolak-balikan buku agenda tebal yang berada di tangannya.

Emmeline tertegun ditempat. Ia harus menjawab apa ?

"A..aku ke..rabatnya, ya kerabatnya" jawabnya dengan gugup dan pasti.

Resepsionis tersebut hanya menganggukan kepalanya sambil bergumam "Hm. Pasien berada di ruang ICU, Nona. Dari sini anda hanya lurus lalu di belokkan pertama anda mengambil arah kiri. Ruangannya berada diujung Nona" Ujar resepsionis kepadanya.

"Terimakasih" ujar Emmeline kepada perempuan resepsionis tersebut lalu berjalan menuju ruang ICU. Kepalanya berdenyut nyeri tetapi ia mengabaikannya demi mengetahui kondisi lelaki tersebut.

Emmeline sendiri tidak mengerti, mengapa ia sedemikian rupa ingin mengetahui keadaan lelaki itu? "Tentu saja karena kau khawatir, kecelakaan itu terjadi karena mu." Jawab dewi batinnya.

Emmeline sudah hampir sampai di ruang ICU namun langkahnya terhenti di tempat, ia melihat banyak laki-laki yang bertubuh tegap, berisi dan berpakaian serba hitam sedang berjaga disana. Merasa tidak bisa melakukan apapun, Emmeline terduduk dibalik dinding sambil menyandarkan badannya pasrah.

Sungguh ia merasa bersalah. Sangat. Jikalau kecerobohannya sanggup menghilangkan nyawa seseorang, seluruh hidupnya bahkan seluruh darah yang mengalir di diri Emmeline penuh dengan penyesalan yang ia sendiri tidak bisa memaafkannya.

Emmeline yang lugu. Ia tidak pernah sesedih ini sebelumnya. Ia sangat menyayangkan kecerobohannya kali ini.

Emmeline mendengar derap langkah lari yang cepat. Ia menenggok ke arah dimana suara derap kaki tergesa-gesa itu berada, hatinya mencelos melihat dokter yang tergesa-gesa tersebut berjalan setengah berlari menuju ruang ICU yang hendak ia tuju. Pikirannya mulai bercabang dan penuh dengan pertanyaan 'bagaimana' dan 'jika'.

Tangannya memegangi dadanya yang berdegup kencang karena khawatir akan kemungkinan-kemungkinan yang sedang menaungi otaknya. Setelahnya ia mendengar lagi derap langkah yang sama terburu-burunya menuju ruang ICU kali ini lebih banyak dokter yang datang.

Emmeline menolehkan sebagian kepalanya cemas karena mendengar suara-suara gaduh di depan ruang ICU. Ia takut dan cemas. Takut hal yang sedang ia cemasi terjadi, namun pemandangan yang ia lihat adalah dua pria yang yang berbicara dengan dokter dengan ekspresi penuh khawatir dan pistol yang ia ancungkan tepat di tengah-tengah kedua mata dokter tersebut.

"Lakukan sebagaimana dokter lakukan. Sembuhkan. Jika tidak, benda ini yang akan meregang nyawamu," Ujar lelaki yang berpostur lebih tinggi dengan rambut kuning pasir.

"A..aku akan melakukan semuanya dengan sebaik-baiknya. Ta.. tapi aku bukan Tuhan," ujar dokter tersebut dengan gugup dan pandangan yang penuh dengan ketakutan.

"Lalu apa gunanya dokter jika menyembuhkan orang sakit saja tidak becus?," ujar lelaki yang lebih pendek dengan rambut cokelat di sebelahnya.

Lelaki yang berpostur badan tinggi dengan rambut pirang rupanya geram dengan jawaban yang diberikan dokter tersebut hingga ia mengokang senjatanya hendak mengeluarkan isi dari pistol tersebut.

IncidentallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang