Chapter 5

548 31 0
                                    

Rumah ini sebenarnya berukuran kecil, namun di saat sendirian seperti sekarang ini Sandra merasa rumahnya bertambah besar dua kali lipat. Tapi Sandra bersyukur, pada tahun terakhirnya di bangku SMU ia disibukkan dengan soal latihan yang tidak tanggung-tanggung sehingga untuk sejenak ia bisa melupakan bahwa seisi rumahnya nyaris hening total.

Hening, sepi. Itulah yang selalu mengisi setiap sudut rumahnya. Awalnya menjengahkan namun empat tahun rupanya cukup untuk membuatnya terbiasa. Semenjak kepergian mama, papa membeli rumah yang jauh lebih kecil dari rumah mereka yang dulu kemudian membawa Sandra turut serta tinggal disana. Semenjak itu pula papa sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Meninggalkan Sandra hanya dengan seorang pembantu yang kini telah diberhentikan karena Sandra merasa ia bisa menangani dirinya sendiri, tapi lebih dari itu sebetulnya Sandra tahu gaji yang papa peroleh tiap bulan tidak cukup besar untuk membayar seorang pembantu.

Papa? Beliau masih sendiri. Awalnya Sandra mengira bahwa papa memilih tetap melajang karena takut padanya. Sandra sendiri dengan egoisnya pernah berkata bahwa ia lebih baik mati daripada punya ibu tiri. Baginya, mama adalah satu-satunya, tidak tergantikan. Namun setelah empat tahun berselang kini ia menyadari bahwa sebagai seseorang yang mengaku mencintai papanya ia sangatlah egois.

Mama tetap tak tergantikan, tapi kini ia mengerti bahwa papa membutuhkan seorang pendamping. Seorang istri untuk memperhatikan kesehatannya secara intens, seorang teman yang bisa diajaknya bicara, yang mendampinginya dalam perantauan.

Ada satu malam dimana Sandra berusaha meredam keegoisannya sendiri, menekan kegentaran yang ada, dan mengutarakan keinginannya pada papa.
"Pa, papa lagi dekat sama tante Novia ya?" kata Sandra, ia bisa mendengar getaran di dalam suaranya. Tante Novia adalah kawan lama papa yang baru pindah ke Jakarta. Beberapa kali janda tanpa anak itu datang berkunjung ke rumah, sesekali membawakan sup ayam kesukaan papa atau rolade daging kegemaran Sandra.

Mengerti putrinya tidak sedang main-main. Papa melipat koran yang dibacanya, menanggalkan kacamata baca yang membekas di pangkal hidungnya. Memfokuskan pandangan pada sosok Sandra yang segera salah tingkah.
"Maksud kamu dekat yang seperti apa?" suara papa kalem seperti biasa, tapi Sandra merasa dirinya bertambah gugup.
"Ya dekat..." Sandra kehilangan kata-kata yang telah dirincinya dengan rapi di kepala, sebagai ganti ia melanjutkan sesuai insting. "Ma'afin Sandra ya pa, kalau selama ini Sandra egois dan masih kayak anak kecil. Sekarang Sandra rela kalau papa mau nikah lagi, Sandra mau punya ibu tiri."

"Kenapa tiba-tiba tanya begitu, papa saja belum pernah lo berpikir sampai kesitu?" Sadar putrinya tidak bisa menjawab, papa segera menambahkan. "Papa sama tante Novia memang dekat, tapi cuma sebatas teman. Papa nggak ada niat untuk menikah sama tante Novia atau perempuan manapun."

Sandra terhenyak mendengarnya. "Pa, Sandra tahu kok papa butuh istri, papa butuh seseorang yang perhatian sama papa, yang ikut kemanapun papa pergi, yang mendengarkan keluh kesah papa. Aku tahu meski papa nggak pernah bilang. Aku tahu." tandas Sandra lebih kepada dirinya sendiri.

"Papa tidak butuh semuanya karena papa sudah punya kamu. Kamu adalah segalanya untuk papa, harta papa paling berharga. Papa bisa jaga kesehatan papa sendiri, papa tahu do'a mama dari surga selalu menemani papa dimanapun dan kapanpun. Dan kamu, kamu pendengar cilik papa paling baik."

Terakhir, Sandra merasakan papa meremas kedua bahunya. Saat itu ada begitu banyak yang ingin Sandra katakan, yang terpaksa harus dipendamnya kembali. Ekspresi papa tegas sekaligus lembut. Menunjukkan beliau tidak ingin didebat.

Butuh renungan panjang selama bermalam-malam untuk mengerti makna terdalam dari apa yang papa sampaikan. Dan begitu mengerti, respon pertama yang Sandra berikan adalah menangis. Kekuatan bernama cinta itu luar biasa besarnya. Cinta papa pada mama cukup untuk mendampinginya selama lima belas tahun pernikahan dan berapapun tahun setelahnya. Cinta papa pada Sandra cukup unyuk menyuplai semangatnya seumur hidup. Bahkan saat mama telah pergi, papa memilih bertahan pada cinta yang sama, bergantung pada harapan yang sama. Berharap kata selamanya tidak terlalu lama untuk meununggu.
Skip

Remember MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang