001

997 85 9
                                    

"Jadi gini Beb, kan gue mau ambil klub dance cuman gue masih bingung nanti bisa apa engga. Atau menurut lo gue ambil klub musik aja? Kebetulan gue punya kenalan juga, dia senior yang ada di klub musik." Shania menjelaskan sambil sesekali menusuk-nusuk bakso didalam piringnya.

Beby mengangkat kepalanya sesaat dan membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu. "A—"

Tak sempat Beby melontarkan jawabannya, Shania memotong ucapan Beby, "Tapi tapi tapi lo tau sendiri 'kan gue ga pinter-pinter amat mainin alat musik. Kalo gitar cuma bisa kunci dasar juga, itu juga kalo ga diulang-ulang bakalan lupa. Jadi gimana nih, Beb? Besok formnya mau dikumpulin lagi." Shania memasukkan sesendok bakso yang telah dipotongnya menjadi beberapa bagian dan mengunyahnya pelan.

"Me—"

"Duuhh Bhepb, gwue mbhinggung." Potong Shania lagi sambil mengunyah dan menelan makanannya, "Gimana niiiihhhh, aduuuhh."

"Shan—"

"TAPIIII ada satu klub yang menarik perhatian gue, klub drama. Kemarin pas bunga rampai klub itu kece parah. Anggotanya pada pinter acting. Makin ciut kan nyali gue." Shania melirik Beby yang sibuk dengan baksonya, menunggu jawaban dari Beby.

"Ihhh Beb jawaaabbb."

Beby tetap diam.

"BEBY!"

"Apa?" Jawab Beby singkat.

"Sahabat lo lagi kebingungan lo malah sibuk makan. Makan aja terus sana sampe lo gemuk."

"Loh?" Beby mengernyitkan dahinya.

"Kok malah loh sih?! Tuh kan. Lo ga dengerin gue ya daritadi udah nyeloteh panjang? Ngeselin banget." Kali ini Shania mengacak-ngacak bakso milik Beby, semua yang ada di meja Shania masukkan ke dalam mangkuk Beby, mulai dari cabe, saos, dan kecap manis.

Beby hanya diam tak melakukan apa-apa. Yah begitulah Shania. Tingkah laku kekanak-kanakkan yang selalu dia tunjukkan kepada Beby. Pasti setelah ini dia tidak akan berbicara pada Beby, Beby sudah hapal benar kebiasaan-kebiasaannya kalau dia sedang marah atau kesal pada Beby.

"Siapa yang ga dengerin? Shania lah. Daritadi gue udah mau jawab, lo langsung nyerocos."

"Jawab paan. Orang daritadi lo diem gitu. Pentingan bakso abang-abang daripada gue?" Shania menatap Beby tajam.

"Baksonya aja belum sempet gue makan udah lo acak-acak gini." Beby menghembuskan napas pelan, "Terserah lo aja mau masuk klub yang mana."

"Tuh kan!! Kok malah terserah gue sih?! Gue kan minta saran sama lo. Malah di terserahin gini. Betein banget jadi orang. Jadi ga napsu makan. Nih baksonya buat lo aja." Shania menyodorkan mangkuk miliknya yang hanya berisi kuah kuning kecoklatan dan sisa-sisa sayur sawi.

"Ga napsu makan tapi diabisin." Ucap Beby pelan.

"APA?" Tanya Shania sinis padanya.

"Engga."

Bel berbunyi menandakan jam istirahat telat usai. Beby berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Shania.

"Beby tungguin."

Beby tidak menghiraukan Shania dan bergegas menuju ke ruang kelas.

"Beb tungguin, beneran ini Beb gue ga main-main, tungguiiinnn." Shania memohon.

Semakin lama suara Shania semakin tidak terdengar oleh Beby. Kini Beby memasuki ruang kelas yang hampir dipenuhi oleh siswa-siwa lainnya. Beby duduk di kursi yang biasa dia setiap harinya. Beberapa menit kemudian, seorang guru perempuan muda memasuki kelas, Miss Viny. Miss Viny tidak hanya seorang guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris tetapi Miss Viny juga wali kelas di kelas Beby dan Shania, kelas 1A.

My HippocampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang