Untuk yang kesekian kalinya kuucapkan, di antara langit mendung yang mengusik malamku.
Dalam gelap dan sunyiku, kau pernah menjadi matahari pagi yang tak sempat aku bingkai. Memberiku satu senja yang tak pernah aku lukis. Memainkan melodi indah yang tak sempat aku rekam. Jangan kau tanya mengapa selalu tak sempat! Terpaku? Tentu.
Jangan pula kamu tanya berapa nilaimu dariku. Bahkan sepuluh jari yang kupunya pun belum sebanding dengan rupa, senyum, dan merdu suaramu.
Sudah jelaskah bagaimana dirimu untukku?
Tetapi, sungguh bukan itu, Senja. Bukan rupa, senyum, atau suramu yang buatku terjerat sebegitu hebat. Bukan itu juga yang buatku cinta sampai sebegini nelangsa. Aku takkan rindu kalau kamu tak pernah ucap itu; janji-janji yang buatku hanyut padamu.
Kamu pernah berjanji untuk mencintai, namun kamu mengingkari. Esoknya, berjanji untuk tetap disini, namun sedetik kemudian pergi. Berjanji untuk setia, namun nyatanya mendua.
Lalu, haruskah aku yakin pada rasa yang kuanggap saling? Sedangkan rindu buncah tak bersua. Padahal rindu dan rasa hampir bertemu pada titik nyata. Lagi-lagi, kamu malah mengatup di antaranya. Tak berpikirkah sebelumnya?
Sebulan tak apa. Tetapi, dua belas bulan terlalu lama. Menunggu, seperti tak dihargai. Tak taukah seberapa besar waktu yang kupilin? Besar. Bahkan lebih besar dari janji kemarin.
Pulanglah, Senja...
Sungguh, aku rindu.