MENANTINYA

406 28 19
                                    

Seorang wanita terlihat menggenggam erat sebuah tangan pucat, tangan yang dulunya terasa hangat dan selalu membalas genggamannya. Wajah lelaki yang terbaring itu tak kalah pucat dari tangannya, sementara beberapa selang tampak dipaksa menyatu dengan tubuhnya. Layar monitor bergerak monoton, tak nampak perbedaan dari hari ke hari, juga tak melunturkan harapan wanita yang bernama Valencia Karen Rose Within.

Wajah letih Valen nampak tak dapat tersembunyi di balik senyumannya. Kilat di manik matanya mampu menjelaskan dukanya.

Valen mendekatkan tangan pucat itu dan menyatukannya, menyentuh pipinya, kelopak matanya terpejam sejenak sebelum menampilkan kilat harapan. "Hay.. ada banyak cerita yang ingin ku bagikan denganmu-" Valen mencoba tersenyum dan menatap lekat kelopak mata yang terpejam erat. "Rasanya menyedihkan. Mungkin beberapa orang berkata bahwa lebih baik bersama hati dibandingkan raga, nyatanya kedua itu sama menyakitkannya. Aku tau kamu bisa mendengarkan ku, tapi kamu tak berdaya. Apa kamu tak mau mencoba sedetikpun?" Valen membiarkan lelaki itu untuk mencoba, tapi hasilnya tetap sama. Valen tertawa, miris.

Valen menempelkan tangan pucat itu ke keningnya dan menoleh ke arah jendela yang menampakkan pemandangan beberapa anak kecil berlarian di taman rumah sakit. "Aku selalu berharap dan berharap agar kamu kembali bersamaku, sampai kulupakan hidupku. Apa itu tak cukup? Apa yang perlu ku lakukan agar kamu mau beranjak dari tidur lelapmu dan mendekap tubuhku seperti dulu. Aku rindu dekapan hangatmu."

Valen memejamkan matanya sejenak, mencoba tersenyum. "Percayalah, kamu tak sendiri. Aku akan ada di manapun kamu berada, aku akan menemanimu. Kamu tak sendiri di dunia ini, ada aku, cintamu. Ku mohon, berhenti memejamkan matamu dan katakan cinta untukku." Bulir air mata enggan memperlihatkan rupanya, berganti dengan sebuah permohonan.

_____

Valen melangkah masuk ke dalam kafe tempatnya bekerja. Keadaan kafe nampak sedikit lenggang, hanya lalu lalang pelanggan lama yang terlihat. "Baru berangkat, Len?" Sahabatnya Rika yang kebetulan bekerja di tempat yang sama dengannya, menyapanya. Valen menoleh dan mengulaskan senyumannya.

"Iya." Valen beranjak masuk ke dalam ruang ganti, mengganti pakaiannya dengan seragam kerjanya. Dia menatap wajah kusamnya, senyuman tipis tersungging di sana. Dengan segera dia membasuh wajahnya, menghilangkan raut lemahnya, tak ingin membuang waktunya sia-sia.

Valen berdiri di belakang meja khusus bartender, membasuh tangannya sebelum membuat racikan baru yang menjadi rutinitas kesukaannya. Rika duduk di depannya, memperhatikan. "Lo gak mau ngelanjutin kuliah, Len?"

"Belum ada biayanya, Ka.. Kamu tau juga kan, Aku aja udah beruntung lulus SMA karena beasiswa." Tangannya dengan lihai meracik berbagai kopi tanpa terganggu dengan obrolan.

"Dia belum bangun juga?" Valen terdiam sejenak, kemudian kembali meracik. Senyumannya tersungging manis.

"Belum, tapi Aku selalu berharap pada takdir."

"Lo hebat Len, Lo setia nunggu orang yang belum tentu bangun. Gue yakin orang yang dapetin Lo adalah orang yang paling beruntung." Valen memilih tersenyum tanpa mengalihkan pandangan nya pada racikan kopi. Apa Mike beruntung mendapatkannya atau dia yang beruntung mendapatkannya?

_____

Valen memasukkan kunci pintunya, memutar pelan gagang pintu dan masuk ke dalam kamar kos-kosannya yang masih nampak gelap gulita. Tangannya bergerak mencari saklar, menerangi ruangan sederhana itu.

Valen melepaskan tas selempangnya, meletakkan di atas meja sebelum beralih untuk bersiap membersihkan tubuhnya yang mulai terasa mengganggu.

Hanya membutuhkan hitungan menit untuknya sebelum membanting tubuhnya ke dalam dekapan kasur kapuk itu. Wajah itu nampak begitu membosankan dengan arsiran tulang pipi yang menonjol dan rona kusamnya.

Valen menghela napas, berusaha menyingkirkan bayang-bayang kelam ketika keluarganya mengusir dirinya hanya karena sebuah hal yang tak terbukti. Rasanya menyakitkan mengingat keluarga kandungnya lebih memilih percaya pada anak tiri mereka dan seolah memilih menutup mata dengan fakta yang terjadi.

Valen memiringkan tubuhnya, memejamkan matanya. Masa lalu tetaplah masa lalu.

Aku percaya akan takdir tuhan
Karena aku yakin tuhan pasti memberikan ku takdir yang terbaik
Walaupun itu menyakitkan, tapi tuhan selalu membalasnya suatu saat nanti entah itu kapan
Aku hanya bisa menanti dan menanti takdir itu.

_____

PENANTIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang