DIA KAH?

95 14 3
                                    

Valen menyesap kopi ke-tiganya, membiarkan rasa pahit itu masuk mengalir ke kerongkongannya, memastikan bahwa lukanya lebih pahit dari minuman itu. Hujan turun dengan deras, dia duduk di dekat kaca jendela, mengamati butiran air yang mengalir. Terdengar helaan napasnya, kopinya sudah habis membuatnya mau tak mau harus memanggil pelayan untuk secangkir kopi lagi dan kembali menatap hujan.

"Kopi ketiga dan akan meminumnya lagi, menjadi kopi keempat." Suara seseorang terdengar di telinganya, tapi dia tidak memperdulikan nya ataupun menoleh, tak ada yang membuatnya tertarik sedikitpun. "Kopi tidak terlalu baik untuk lambung, apalagi sampai empat cangkir."

"Bisakah anda diam?" ucapnya tanpa menoleh dan bertopang pipi, malas menanggapi.

"Saya hanya memperingatkan, atau jika tidak.. jika anda ingin menghangatkan tubuh, lebih baik minum secangkir coklat hangat saja." Terdengar orang itu memanggil pelayan dan meminta secangkir coklat hangat.

"Bisakah anda tidak mengurusi urusan saya?" geram nya dengan tetap tidak menoleh ke orang itu, hanya terpusat pada cangkir kopi.

"Ya sudah, saya pergi.." Terdengar bunyi ketukan sepatu yang menjauh.

"Ini pesanannya, satu cangkir coklat hangat.." Valen menoleh ke arah pelayan itu dan berterima kasih. Dia menatap coklat itu, dan tanpa sengaja matanya melihat sebuah lollipop. Dengan perlahan dia mengambil lollipop itu dan melihat kertas yang tertulis.

'Mungkin nanti kamu akan membutuhkannya, anggap saja sebagai salam perkenalan.'
Valen terdiam menggenggam permen lollipop itu, sedetik kemudian dia berlari keluar kafe mengedarkan pandangannya mencari sosok orang itu tapi hasilnya nihil.
Tak mungkin! Aku hanya terlalu memikirkan nya, dia sudah pergi!

Valen memilih kembali masuk ke kafe, membayar minumannya dan pergi pulang kembali ke hotelnya. Rasanya pekat lebih menarik daripada dunia.

_____

Menonton televisi adalah salah satu hiburan untuknya, tapi pikirannya selalu melayang pada seseorang yang memberikannya permen lollipop itu. Dia mengamati permen lolipop itu dan menghela napasnya. Kembali menonton televisi, tapi tidak lama kemudian ponselnya berbunyi. "Halo?" Dia beralih berjalan ke arah balkon kamarnya.

"Valen?" Suara seorang wanita terdengar dari sebrang sana, memastikan bahwa itu adalah dia.

"Iya?" Valen beranjak duduk di kursi balkon, menatap jalanan kota yang ramai lalu lalang.

"Valencia Karen Rose Within?" Valen terdiam dengan alis bertaut.

"Maaf, ini siapa?"

"Kamu tak mengenali bunda, nak?" Valen terdiam, memilih terdiam dengan segala pemikirannya. "Len?"

"Oh, ya. Kenapa bun?" Valen meraih salah satu vas bunga kecil, memainkannya di dalam genggaman tangannya.

"Bisakah kamu pulang?"

"Pulang kemana?" tanya Valen balik, untuk apa dia pulang toh dia sudah berada di apartemennya.

"Pulang kerumah, nak.."

"Maaf bun, Alen sekarang gak bisa."

"Maaf nak.. maaf.. tolong kembali lah.. bunda merindukan mu.. Kembali ke rumah." Setelah sekian lama, baru kali ini wanita yang disebut ibu itu memintanya pulang. Bukankah akan selalu ada udang di balik batu?

"Apakah kak Lena yang menyuruh bunda?" tanya Valen dengan suara datar. Drama apalagi yang harus dia hadapi? Dia mulai muak.

"Mak-sud kamu?" Valen tertawa, menertawakan dirinya sendiri, sembari menggenggam erat vas kaca itu. Sedikitpun saja kasih sayang tak ada untuknya? Kenapa rasanya dunia begitu menjengkelkan?

PENANTIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang