Satu

484 31 2
                                    

Alunan musik itulah yang mula mula memberi tanda pada Luhan bahwa rumah di lembah itu telah dihuni kembali.

Waktu ia membuka pintu samping sesaat sesudah matahari terbit, suara alat musik memenuhi udara laut yang segar, menarik perhatiannya ke rumah tua di lembah, yang jendelanya memantulkan warna jingga sinar matahari pagi.

Dengan gaya arsitektur klasik Selandia Baru, rumah itu berbentuk segi empat sederhana, beranda depannya dinaungi seng gelombang yang harus di cat ulang. Beranda di dekat kaki perbukitan, dimana bukit bukit itu membingkai suatu sudut mungil Samudra Pasifik yang tak terbatas.

Melodi lagu itu berlarian mengikuti arah angin pagi, menggetarkan bulu bulu halus sesemakan yang menutupi tanah perbukitan. Hingga mencapai pondok Luhan yang dicat putih, di tanah miring yang menghadap ke lembah dan ke laut.

Luhan sedang memupuki tanaman ketika tiba-tiba alunan musik itu berhenti di tengah-tengah nada. Ia berhenti dan mengangkat kepala, sambil menyelipkan rambut basahnya yang menutupi dahi. Kala suara indah itu tak berlanjut.

👐👐👐🌻

Siangnya Luhan memanggang biskuit, membungkus bunga sun flower dalam kertas biru laut, dan mengikatnya dengan tali rami berwarna kuning. Lalu ia berjalan melewati rerumputan yang tumbuh jarang di antara cekungan bekas roda, sepanjang jalan yang menghubungkan lembah dengan tanah diatasnya.

Karena kayu yang sudah tua di beranda rumah itu, membuat setiap langkah kaki Luhan yang menggunakan sepatu kets berdecit. Jendela yang tidak tertutup tirai. Luhan segera mengalihkan pandangannya dari jendela, meskipun ia sangat ingin melihat tetangga barunya itu. Lalu ia mengetuk pintu.

Tok tok tok

Tidak ada jawaban.

Tok tok tok

Masih tidak ada jawaban. Ia menunggu sedikit lebih lama lagi. Memberikan jeda pada ketukan pintu yang baru saja dilakukan.

Dan saat akan melakukan kegiatan mengetuknya lagi. Pintu itu terbuka. Untunglah Luhan tidak hampir jadi memukul dada si tuan rumah. Dengan bingung dan menutupi rasa canggung pula ia hanya bisa tersenyum dan menggigit kecil bibir bawahnya.

"Aku tidak mendengar kau datang."

Laki-laki yang berhadapan dengannya cukup jangkung sehingga ia merasa lebih mungil lagi dari tingginya yang memang dibawah rata-rata. Rambutnya gelap mungkin karena basah, tapi tidak hitam. Matanya coklat bulat sempurna, dan hidung yang angkuh di atas mulut yang bisa dibilang maskulin dan rahang yang keras. Laki-laki itu tidak memakai kaus, mengekspos kulit putih orang asia, lengan yang kecil tapi kekar, juga dada bidang yang ditemani beberapa pack di bagian perutnya. Hanya celana boxer yang menutupi kemaluannya. Membuatnya terlihat seksi. Luhan terdiam beberapa detik mengagumi ciptaan tuhan yang satu ini.

"Aku baru menyelesaikan man-" Buru-buru Luhan sadar dari lamunannya. Dan memotong pembicaraan tetangga barunya itu.

"Aku membawa biskuit dan. . ."

Bunga rasanya tidak tepat. Ia kemudian mengangkat barang bawaannya, beberapa sentimeter dari tempat asalnya. Lelaki itu melihat ke bawah, tapi tidak mengambil barang bawaan itu. Lalu ia mengangkat kepalanya perlahan-lahan, matanya menatap sepatu kets Luhan, ia mengenakan celana pendek corak hijau prajurit, lalu kemaja tipis yang dibuka 2 kancing memperlihatkan pangkal lehernya. Saat kembali menatap wajah Luhan, ia tampak tidak terkesan.

Luhan mengulurkan tangannya,
"Namaku Luhan. Xi Luhan. Kau bisa memanggilku Han. H-A-N. Aku tinggal disana. . ." Ia tersenyum simpul sambil menunjuk ke arah podok miliknya.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat datang padamu. . . Pada keluargamu. . ." Lanjutnya.

Sun Flower [EXO Fanfiction HunHan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang