Tidak ada yang berani lewat tangga tergelap di sayap timur sekolah. Kalau ada yang ingin lewat sana, silakan saja, namun bersiaplah menerima risikonya. Konon, saat masa pemberontakan besar-besaran di negeri ini, para pemberontak turut memasuki sekolah pasca-beredarnya kabar burung bahwa para petinggi bersembunyi di sekolah ini. Tanpa pikir panjang, tanpa menggunakan akal mereka, para pemberontak menyeruak begitu saja dan menembaki semua yang berusaha menghalangi.
Tangga tergelap di sayap timur bangunan, tempat jatuhnya korban terbanyak dari kalangan murid—mengingat para pemberontak itu seenaknya masuk dan membantai semua yang mereka anggap pengganggu saat jam sekolah.
Sering terdengar jerit mengerikan dari tangga itu. Juga tangisan tertahan yang bersahut-sahutan. Mendekati tanggal dua puluh sembilan, suara semacam itu semakin menjadi-jadi, memekakkan sekaligus membuat merinding warga sekolah.
Patricia pernah nekat melewati tangga itu, dan hidupnya berakhir dengan gegar otak parah yang dideritanya setelah jatuh dari anak tangga teratas hingga ke lantai bawah.
"Mereka tidak suka diusik," Valerio memberi opininya sembari menggigit sandwich tuna, "atau mereka bisa saja ingin menambah jumlah teman."
Aku bergidik mendengar perkataannya barusan. Kalau benar mereka mencari teman, berarti sekarang Patricia ada di sana juga, menyeringai begitu mendapati ada anak lain yang hendak melewati tangga tergelap di sayap timur itu.
"Aku enggak suka gagasanmu, Val."
Valerio mengangkat bahu. "Siapa bilang kau harus menyukainya?"
Retorik. Tidak ada yang bilang aku harus menyukai gagasan Valerio, maka kuputuskan untuk diam dan mengamatinya makan sandwich tuna, sesekali juga melayangkan pandangan ke sudut lain laboratorium ini.
Pak Edward Werner masih sibuk menuangkan cairan kehijauan ke dalam tabung reaksi, mencampurkannya dengan cairan ungu, menunggu. Tidak ada yang terjadi, ia menyerah. Melepas kacamatanya, kemudian berjalan mendekatiku dan Valerio.
"Hei, kalian," sapanya, duduk begitu saja di sebelahku. "Val, berilah satu sandwich-mu pada orang kelaparan ini. Aku tahu kau adalah muridku yang paling baik."
"Terima kasih atas sanjungannya, Edward." Valerio menyedot jus jeruk kotaknya, lantas mengambil satu sandwich dari dalam kantong kertas dan memberikannya pada Pak Edward Werner. "Apa yang sedang kaulakukan?"
"Melakukan percobaan, apalagi?"
"Bukan, bukan ... maksudku, percobaan apa? Membuat campuran baru? Obat penghilang rambut—misalnya."
Pak Edward Werner menggeleng. "Rahasia, Val. Aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Yang jelas, ini sama seperti beberapa waktu lalu."
Valerio mengangguk-angguk paham sambil menjejalkan seluruh sisa sandwich ke dalam mulutnya. Sejak tadi aku hanya mengamati mereka dalam diam. Valerio dan Pak Edward Werner tak ubahnya sepasang sahabat karib, berbincang-bincang tanpa sekat yang membatas murid dan guru. Terbukti dari panggilan Valerio pada guru penjaga laboratorium sekolahku tanpa embel-embel 'Pak' atau semacamnya.
"Nah, Nona Veronica ..."
"Lisa saja, Pak," potongku, sebelum Pak Edward Werner menyelesaikan kalimatnya.
"Ah, maaf. Lisa, apa yang membuatmu selalu datang kemari saat jam istirahat, menemui Valerio dan aku—secara tidak langsung?" tanya penjaga laboratorium tersebut. "Bukankah banyak tempat menarik di sekolah ini selain laboratorium?"
Aku menunduk, memainkan jemariku. "Aku tidak punya teman selain Valerio."
* * *
Saat tahun ajaran baru, aku pernah melewati tangga tergelap di sayap timur. Kebanyakan murid baru memang sudah tahu cerita seram tangga itu, sayangnya aku tidak. Aku berasal dari kota lain, tidak punya kerabat di sini, apalagi kenalan yang kebetulan kakak kelasku atau alumni sekolah ini. Kesemua alasan itu cukup untuk membuktikan ketidaktahuanku soal larangan melalui tangga tergelap di sayap timur sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Challenge Horror Story
HorrorChallenge kedua karya member kami! Selamat membaca~ -Author Club Indonesia-