Kau akan selalu ada, aku pikir begitu. Namun kau tak ada. Di suatu tempat aku jadi teringat. Aku tak merasa kesepian. Perlahan aku mendongak menatap langit pucat itu.
Apa yang kau lakukan? Dimana kau sekarang? Jika aku bertanya pada diriku sendiri, aku bahkan tak bisa menjawabnya. Merasa terlalu jauh darimu. Semenjak terhubung.
Akhirnya aku menemukanmu. Kau berlari mengelilingi seluruh alam semesta. Aku berputar di sekitarnya. Pikiranku tak berubah disini.
[•√•]
Kuluapkan emosi melalui jemari. Kesetanan, mereka tak dapat berhenti menekan tuts-tuts monokrom piano, akupun tak ada niatan untuk membatasi gerak hiperaktif mereka. Menari-nari dari tempo cepat ke tempo lambat lalu ke tempo cepat lagi kemudian ke tempo lambat lagi. Menggemalah melodi menusuki setiap pemilik kuping. Dahulu aku tak mempunyai minat pada alat musik yang digadang paling romantis ini, minatku telah berada dalam genggaman kertas dan pensil.
Sampai tibalah seorang Eros dengan segala mimpi dan bakat lahirnya menawarkan kesenangan yang lain dari benda masterpiece berkaki tiga penghasil ribuan nada. Segar di ingatan, lantangnya suara Eros menyampaikan mimpinya. Eros yang seorang asteroid sama sepertiku-mengharap menjadi bintang, layaknya matahari. Menembus batas melalui karya- hasil dari mengabdian penuh di masa kecil. Kucekikikan saat itu, namun tak sedikitpun kumeragu barang seujung kuku. Eros selalu melirik sinis seraya mendesis benci kala kumenenteng kertas dan pensil milikku kehadapannya. Padahal jiwa, mimpi dan bakat lahirku tersimpan di dalamnya. Tak jauh berbeda dengan piano kebanggaan Eros.
Sesuatu yang tak kuduga, Eros lenyap tiba-tiba. Mengalahkan lesatan tiupan angin yang menyapu gundukan pasir di gurun sahara saat tengah hari. Tanpa peringatan, tanpa ucapan selamat tinggal. Oaseku kini mengering sejalan dengan keringnya jiwa. Menjalarkan retakan dalam hati. Aku yang waktu itu terperangkap dalam tubuh seorang bocah tak tahu menahu harus berbuat apa untuk menemukannya.
Sewindu bergulir lambat di pelupuk mata, selambat langkah kecil sang kura-kura yang menantang gesitnya sang kelinci dalam lomba lari. Titan, seorang asteroid lainnya datang menghampiriku. Lihatlah, kuperhatikan wajahnya yang serupa Eros. Pantas saja, ternyata mereka berdua berasal dari liang yang sama. Titan mengulurkan tangan, memberiku secarik kertas yang terlipat. Kubergeming, terpaku menatap nanar. Jangankan tuk menjelajah apa kiranya yang ada di dalam kertas itu, keberanian tuk membuka saja ku tak berpunya. Titan, dia datang bak seorang pesulap. Membelalakan mata, menakjubkan benak dengan trik-trik sulap klasiknya. Kemudian menghilang dalam sekejap. Namun, pada hakikatnya dia tak lebih dari seorang pengantar pesan.
°_°
Memandang luas hamparan rumput hijau yang terlihat tak lagi hijau di bawah naungan cahaya bulan duabelas hari, sanubariku tergelitik, hatiku tergoda tuk meluruskan punggung di atasnya. Kepala lancip rerumputan seakan merunduk malu-malu ketika tanganku bergulir meraba. Perlahan, kumenindih rerumputan tak berdosa itu. Secara sempurna beratku bertumpu pada mereka.
Terlintas di pikiran, kertas pemberian Titan. Ralat, kertas pemberian Eros yang diantar Titan tepatnya. Kujamah, kurasakan teksturnya. Lipatan kertas kusibak satu-persatu. Kutelanjangi hingga terlihat muatan di dalamnya. Sebuah gambar?. Gambar seorang anak perempuan?. Anak perempuan itu mirip denganku. Mungkinkah anak perempuan itu memang diriku?. Karena persis disampingnya dibubuhi tulisan "Untukmu, Astra." Tidak salah lagi, Astra adalah nama pemberian orang tuaku. Ini sedikit mengusik batin. Bukan, bukan gambar maupun tulisan itu. Melainkan yang menciptakan gambar dan menulis tulisan itu. Kutahu benar watak sang creator, tatapan jengahnya, ekspresi muaknya pada segala hal yang berbau gambar yang sampai detik ini tak kuketahui musababnya.
Eros, apa kau mencoba mencemoohku?. Mencemooh sikapku yang sekarang menggilai piano padahal dulu tak menyukai?. Atau kau sedang mencemooh sisi lain diriku dengan cara menunjukan sisi lain dari dirimu. Kudekap dan kutenggelamkan kertas itu di dadaku. Menyudahi permainan teka-tekimu. Pikiranku tak akan pernah berubah. Bagiku, kata pianis tetap lebih pantas untukmu.
Melongok taburan milyaran bintang di legamnya langit malam, kutangkap satu bintang yang berkelip paling tak beraturan. Oh, aku menyadari sesuatu, aku yakin jikalau bintang itu adalah perwujudan dan pembuktian ucapan dari seorang anak laki-laki. Sungguh sangat berbeda dari penafsiranku masa itu, tak kusangka dia benar-benar menjadi bintang, secara harfiah. Seorang asteroid kini telah bertranformasi menjadi bintang. Mulai sekarang akan kupanggil bintang itu dengan nama...Eros.
-Berakhir-
***
Sebuah coretan absurd tak bermakna, tak berpesan moral dan sama sekali tak meningkatkan taraf kecerdasan.
Terinspirasi dari soundtrack ending anime The Law of Ueki yang berjudul Little Planets dan dinyanyikan oleh Aiko Kayo.
Terima kasih.
K.U.R.N

KAMU SEDANG MEMBACA
Asteroid : Astra & Eros
Cerita PendekKau tak ingin terjatuh? Kalau begitu tetaplah melayang.