Rembulan Perak

140 5 7
                                    

Aku disini, berteman sepi, bermain dalam malam yang bisu. Hening. Hanya nyanyian katak yang sesekali mengisi keheningan ruang ini.
Kubiarkan jendela bercat merah tua ini terbuka. Mempersilahkan angin malam menyapa wajah dan rambut kecokelatan yang tergerai. Dingin. Itu yang kurasakan. Namun dingin itu mengundang sedikit rasa segar, memasuki paru-paru yang sedari tadi terasa sesak.

Memandang tangga kecil di sudut Mesjid itu lagi-lagi mengundang sesak. Bayangmu selalu muncul, bersama tatapan mata hitam legam yang selalu mengawasiku setelah sholat isya ditunaikan. Masih terdengar suara-suara ketika kau dan teman-temanmu berbincang di tangga sana. Kau duduk menghadap jendela merah tua-ku. Menatap jendela yang memancarkan sinar dari kejauhan. Dengan wajah memerah, kupandangi kau dari balik tirai jingga yang menjuntai. Malu. Itu yang kualami. Jantungku selalu saja berdegup kencang disaat-saat seperti itu. Namun, semua hanya kisah lalu yang tak mungkin terulang. Sesak kembali mengisi relung. Perlahan, pipi ini terasa basah. Sebuah senyuman kulemparkan pada benda yang indah disana.

Aku masih saja disini, menatap rembulan perak yang bersinar penuh. Sepenuh rasa rinduku padamu. Kepada rembulan yang setia menemaniku mengarungi masa lalu di ruang ini, terimakasih. Sampaikan rinduku, padanya dimanapun ia berada.

Just A SentenceWhere stories live. Discover now