"Arghh!"
Mimpi itu datang Sara lagi. Setiap malam tanpa jeda. Ia tersentak bangun dengan napas tersengal. Sebelum sempat membuka mata, rasa sakit di kepalanya datang menyergap, lebih kuat dari biasanya. Nyeri menyerang satu titik di kepalanya, menghantam seperti palu terus-menerus tanpa henti. Telinganya berdenging, keringat mulai mengalir dari garis rambut, membasahi pelipis.
Sara menggeram, tangannya meraih rambut, menariknya, berharap rasa sakit itu hilang. Tapi tak ada yang berubah. Sakitnya justru semakin mengganas. Dia ingin berteriak, tapi suara tersangkut di tenggorokannya. Tangannya gemetar, berusaha meraih ponsel di nakas, ironisnya ponsel itu terlalu jauh untuk dijangkau, meski jarinya hanya beberapa sentimeter hampir menyentuh ponsel itu. Getaran di tangannya justru membuat ponsel jatuh. Pandangannya mulai nanar, rasa sakit mengaburkan kesadarannya, menariknya ke dalam kegelapan yang tak berdasar.
Semuanya berubah gelap.
"Hah!"
Sara tersentak kembali ke kesadarannya, napasnya terengah-engah. Matanya terbuka lebar, tubuhnya dingin, keringat membasahi seluruh kulitnya. Ruangan kamar yang seharusnya hangat terasa dingin menusuk, seolah udara di dalamnya terserap entah ke mana. Ia mengangkat tangannya, berusaha meraih wajahnya sendiri, tapi jari-jarinya bergetar hebat, seperti meraba sesuatu yang tak kasatmata, lemas.
Kejadian itu membuatnya merasakan sensasi aneh, seperti tidak lagi berbaring di atas sesuatu yang nyata. Seolah gravitasi menghilang dan tubuhnya siap untuk terlempar ke antah berantah kapan saja. Dengan susah payah, ia memaksa dirinya duduk di pinggir ranjang, menatap lantai dengan pandangan kabur. Keringat dingin terus mengalir dari pelipis Sara, membasahi leher dan punggung.
Dia harus ke dokter, pikirnya. Secepat mungkin. Apa yang terjadi barusan benar-benar membuatnya takut. Itu adalah serangan sakit kepala terburuk yang pernah ia alami. Bahkan, sesaat tadi ia pikir itu adalah akhirnya, seolah dia tak akan pernah bangun lagi. Vertigo? Atau mungkin ada yang lebih serius?
Sara melirik jam digital di atas nakas. Ia kesiangan. Angka-angka merah itu memancarkan sinar yang lebih tajam dari biasanya. Dia seharusnya sudah bersiap-siap setengah jam yang lalu. Sara berusaha menghilangkan sisa-sisa ketakutan, mengusap wajahnya kasar. Dengan sigap Sara bangkit, meraih selimut yang terjatuh di lantai, dan memulai rutinitasnya. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, Sara memaksakan diri untuk bergerak lebih cepat. Dia menyambar pakaian kerjanya dan merapikan rambutnya seadanya.
Ajaibnya, entah bagaimana, Sara tetap melangkah ke kantor seperti biasa, seakan tadi pagi ia tidak hampir mati. Langkahnya tetap mantap, dengan sepatu hak 15 sentimeter yang butuh keseimbangan ekstra. Membiasakan dirinya dengan suara detak sepatu yang bertalu-talu di atas trotoar, menyatu dengan hiruk-pikuk kota yang mulai ramai. Ini bukan pertama kalinya Sara harus menutupi kelemahan di balik riasan sempurna dan senyum profesional. Pun, bukan pertama kalinya juga ia harus berpura-pura kuat.
Saat melintasi jalan menuju kantornya, sebuah suara dari kejauhan menarik perhatiannya. Suara yang terlalu familiar—dengan nada berat yang sedikit mencemooh tetapi penuh karisma. Ia menoleh dan melihat sebuah jumbotron besar di gedung pencakar langit, berpendar dalam kilauan sinar matahari pagi. Di sana, wajah Alta Arkatama Martin muncul dalam wawancara di saluran berita ternama. Pria itu duduk dengan anggun di kursi wawancara, mengenakan setelan jas hitam elegan dengan kemeja putih bersi. Senyumnya menebar pesona, begitu sempurna hingga hampir membuat Sara mual. Ia berbicara dengan penuh keyakinan, gestur tangannya meyakinkan setiap orang yang melihatnya. "Aurorise berkomitmen untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dengan menghibahkan tanah bagi proyek penghijauan," ujarnya dengan percaya diri.
Sara memperhatikan tulisan yang bergulir di bawah layar besar itu. Pujian-pujian mengalir di live chat yang ditampilkan di bagian bawah layar. Komentar seperti "Keren! Langkah besar untuk masa depan hijau!" dan "Alta Arkatama benar-benar inspiratif!" memenuhi ruang kecil live chat. Sara mengepalkan tangannya, merasakan emosi terpendam, mencuat seperti bara api yang hampir padam kemudian disiram bensin. Tentu saja, dia dipuji. Si bajingan itu selalu tahu cara bermain dengan citra.
KAMU SEDANG MEMBACA
The World With You : Dunia dimana Kamu Ada
FantasyDalam kekusutan takdir yang mengentang, Sara dan Alta menemukan diri mereka terjerat dalam benang merah yang tak hanya mengikat mereka satu sama lain, tetapi juga ke dunia antara yang misterius-tempat di mana jiwa-jiwa yang belum siap untuk pergi be...