BAB I (1/1)
Sara mengerang, bangun lagi dari mimpi buruk yang sama. Mimpi kerap datang menghantui malam-malam Sara tanpa ampun. Dalam mimpi itu, ia jatuh tanpa henti ke dalam sebuah lubang hitam besar, mirip seperti sumur tanah yang tak berujung. Kegelapan mencekiknya, dan satu-satunya suara yang terdengar adalah teriakannya sendiri yang terpantul oleh dinding-dinding lubang sempit.
Sara memekik. Bangun mendadak membuat kepalanya berdenyut hebat, rasanya seperti ribuan paku menusuk-nusuk pelipis. Perasaan sesak samar-samar muncul di dadanya. Sara tidak yakin bisa melanjutkan tidurnya, jadi ia bangkit dari tempat tidur, mengambil segelas air dari atas nakas dan meminumnya perlahan. Menenangkan diri, mencoba mengatur napas dan melupakan mimpi buruk itu. Jam di bawah lampu meja menunjukkan pukul tiga pagi. Masih ada cukup waktu untuk tidur, namun Sara tahu itu nyaris mustahil.
Belakangan, rasa sakit kepala sering muncul. Sara mencoba mengabaikannya dan menganggap itu sebagai efek dari stres atau mungkin kurang tidur. Namun, rasa sakit itu semakin hari semakin inten. Sara mengira mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Dia menepis pikiran itu dan memilih membuka laptop, melanjutkan laporan yang deadlinenya masih lama. Begitu ia tenggelam dalam pekerjaan, sakit kepala yang mendera mulai menghilang, tertutup oleh fokus yang intens.
Tanpa terasa, matahari sudah muncul di balik horizon. Sara meregangkan tubuhnya yang kaku setelah berjam-jam duduk di depan layar. Nyeri di punggung dan lehernya, serta rasa perih di mata yang lelah, mengingatkannya betapa lama ia tak bergerak.
Lalu, seperti biasa Sara memulai rutinitas paginya. Mandi, bersiap-siap, sarapan, lalu berangkat kerja. Kehidupannya diwarnai oleh rutinitas yang sama setiap hari. Monoton dan sunyi. Sara menjalani hidup sendiri.
Sara anak tunggal, sementara orangtuanya tinggal di kota lain. Tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Menyepi membawa ketenangan bagi orangtuanya. Tidak ada yang mengenal mereka disana untuk memberi bisikan atau pandangan mengolok.
Sayangnya, Sara masih harus bertahan sendirian di ibukota karena dia tulang punggung keluarga. Tiap bulan ia rutin mengirim uang untuk menyokong hidup mereka. Tinggal di perkotaan sendiri dan bekerja sebagai seorang pegawai negeri adalah keputusannya sendiri, meski itu artinya ia harus hidup dengan beban di pundaknya.
Awalnya Sara memilih pekerjaan ini karena tugasnya cukup mudah dan kantornya dekat dengan rumah. Toh, dia memerlukan penghasilan yang tetap dan uang pensiun yang terjamin. Karena jaraknya dekat, ia jadi bisa berjalan kaki ke kantor setiap hari. Pekerjaan yang sempurna untuk Sara, yang ingin hari-harinya cepat berlalu. Namun, lama-kelamaan pekerjaan ini membuat Sara nyaman.
Setelah berpikir sejenak, Sara akhirnya menempatkan pilihan pada blazer hitam yang sudah lama tergantung di lemarinya, kemudian dipadukan dengan kemeja marun di bawahnya. Dia lalu melengkapi gayanya dengan celana kulot berbahan jatuh yang menutupi sebagian sepatu berhak tingginya. Di lehernya terpasang tanda nama instansi yang menampilkan foto, jabatan, dan nama lengkapnya "Sara Adelina Amara."
Sara melangkah keluar dari apartemen. Perjalanan menuju kantor seperti biasa lumayan menyenangkan. Lalu lintas mobil cukup padat, namun area trotoar dilindungi pohon-pohon besar memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki. Sara mendengar kabar bahwa pohon-pohon ini ditanam jauh bertahun-tahun lalu oleh pegawai senior di kantornya, dan kenyataan itu membuatnya sedikit bangga.
Kedamaiannya terusik ketika pandangannya sekilas menangkap papan iklan besar di pinggir jalan. Iklan itu menampilkan gambar sebuah hotel megah yang sangat ia kenal—Hotel Aurorise. "Tempat kemewahan yang tak terlupakan," bunyi slogan di bawah gambar hotel tersebut. Perut Sara melilit. Aurorise bukanlah hanya sebuah hotel baginya. Itu adalah hantu masa lalu yang terus mengikutinya, tempat di mana kehidupannya mulai berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The World With You : Dunia dimana Kamu Ada
FantasíaDalam kekusutan takdir yang mengentang, Sara dan Alta menemukan diri mereka terjerat dalam benang merah yang tak hanya mengikat mereka satu sama lain, tetapi juga ke dunia antara yang misterius-tempat di mana jiwa-jiwa yang belum siap untuk pergi be...