Nrimo ing Pandum

329 26 80
                                    

Playlist, Safe and Sound By Taylor Swift feat. The Civil Wars

This picture by Vadelia, my friend

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

This picture by Vadelia, my friend.
***

Cilacap, tahun 1940

Selama ini, aku hidup dalam kesederhanaan. Lahir dari sepasang pasutri petani di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, tepatnya daerah Cilacap, membuatku menjadi gadis desa yang minim pengetahuan. Pendidikan yang kutempuh hanya sampai tingkat SR (sekolah rakyat) , itupun aku sudah sangat mensyukuri nasibku yang masih bisa sekolah. Saat itu, kebanyakan anak-anak desa yang sekolah hanya anak dari kalangan bangsawan maupun petinggi kampung, seperti Kepala Desa, Mantri, dan sederet pejabat desa lainnya. Tetapi karena kegigihanku, biyung dan bapak mengizinkan puterinya untuk mengenyam pendidikan.

Setelah lulus dari SR, aku harus puas dengan membantu biyung keliling berjualan tempe bungkus setiap sore. Mengelilingi kota Cilacap, berjalan kaki dengan tenggok yang kupikul di punggung. Keadaan ayah yang lumpuh akibat keikutsertaannya perang melawan penjajah, membuat kami harus lebih giat bekerja untuk bisa makan sehari-hari. Banyak cercaan dan hinaan dari warga desa maupun teman sepermainanku. Mereka berkata kalau aku hanya membuang waktu untuk sekolah, toh akhirnya aku hanya jadi penjual tempe, bukan juru tulis desa, ataupun dilirik oleh pegawai-pegawai desa untuk dijadikan istri. Semua itu hanya kuanggap angin lalu, mungkin karena terlalu sering menerima perkataan yang buruk dari mereka.

Tidak, aku tidak pernah malu untuk melakukan pekerjaan ini, semua kulakukan dengan ikhlas dan lapang dada. Hanya satu yang menjadi pedomanku saat hati dan pikiran mulai melemah, yaitu perkataan mendiang simbah dulu. Beliau selalu berkata, orang hidup sebaiknya selalu nrimo ing pandum. Kata ajaib itulah yang selalu kuingat agar selalu bersyukur dengan keadaan.

Tetapi, keyakinanku akan kata tersebut redup saat diriku jatuh cinta pada seorang tentara Belanda bernama Stefan. Pertemuan kami pada suatu sore di pantai Teluk Penyu kala itu, menumbuhkan rasa asing yang tidak bisa kucegah. Pertemuan-pertemuan kami selanjutnya semakin membuat hatiku penuh dengan bunga.

Logika dan akal sehat tertutup. Nasehat orangtua untuk menjauhi Londo dan tidak berhubungan dengan mereka kuabaikan. Bagiku Stefan berbeda dengan londo lainnya. Dia begitu baik, lembut dan sopan padaku. Semua stigma negatif yang diberikan rakyat pribumi sepertiku tentang kaumnya tidak melekat pada dirinya.

Setiap sore selepas berkeliling untuk berjualan, aku selalu singgah di pantai Teluk Penyu. Disana, dia sudah menantiku dengan setangkai mawar merah di tangannya. Kami membicarakan banyak hal, tetapi lebih sering kami saling bertukar kosakata. Dia mengajariku bahasa dari negerinya pun denganku yang mengajari dia bahasa Indonesia. Lalu, saat matahari mulai tenggelam kami baru tersadar sudah terlalu lama bercengkrama. Saat aku akan pulang, dia selalu menemaniku sampai diujung jalan seraya bergandengan tangan serta memastikan kalau aku akan menemuinya lagi di pantai. Tentu saja aku tidak menolak ajakannya tersebut. Dengan wajah yang malu-malu aku menjawabnya dengan anggukan.

ArundatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang