Isine Ati

101 6 5
                                    

Abaikan typo, sungguh! Jari-jemari saya rasanya sudah keriting, macam mie 😂. Entah kenapa, di chapt ini, saya merasa tingkat ke-alay-an yang tinggi. Alasannya? Silahkan baca sendiri 😌 nanti juga tau 😁.
Oh ya! Aku udah tahu nama cast Arundati. Ini berkat teasetroll yang mau repot-repot nyariin. Thank you so much darl, 😱😳
Namanya Bridget Hollitt 💕 (udah gue tambahin love coba 👅)
Silahkan search, kalo lagi kurang kerjaan. Kalo perlu stalk-ing ig.nya wkwk. Seriously. She's insanely beautiful.
Like an angel and like ... me 😌😂

Banyak bacot ya? Wkwk. Banyak juga yg ga baca note ini 😢 #plak. Oke lah. Silahkan dibaca. Enjoy!^^

Eh!!! Bentar bentar!! Stoooopp! Tahan bentarr!!! Jangan baca dulu. Saya cuma mau ngomong,
-

-

MERDEKA!!!!!!! DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA Ke-71
Maaf telat :'(
Tapi semoga... semua pahlawan negara kita yang gugur dulu di terima disisi-Nya yang paling Mulia. Yang masih hidup, dibahagiakan hidupnya. Terimakasih untuk jasa-jasa kalian. Terimakasih karena sudah menghadiahkan kemerdekaan yang sekarang saya nikmati, kami nikmati. Semoga Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dari hari ke hari dan selamanya.🙌🙇 Amiiiin.

So, Enjoy!^^ (kali ini ngga ada interupsi kok wkwk)

****

Aku tidak menyesal dilahirkan dari rahim seorang biyung yang hanya petani di desa terpencil. Tidak menyesal dinamai Arundati. Dan tidak menyesal lahir di zaman ini. Dimana perebutan kekuasaan masih menjadi beban untuk seluruh lapisan masyarakat, bahkan untuk anak yang baru lahir ke dunia.

Kabeh tak trimo, tak jembarke atiku (Semua aku terima, melapangkan dada). Semata-mata hanya untuk ketenangan batin serta berdamai dengan keadaan.

Aku juga tidak malu mempunyai bapak yang cacat. Tak peduli seberapa banyak warga desa yang mencaci dan memandang keluargaku sebelah mata. Aku bangga dengan bapak. Dia rela mengorbankan nyawa untuk negri ini, Indonesia. Masih terngiang di telingaku, saat suatu sore kami berbincang di ranjang reot sambil sesekali memijit kakinya menggunakan parutan jahe.

"Ngopo to nduk, sikil bapak wis ra isa ngrasakke opo-opo. Ra sah dipijet... dolan o wae kono karo konco-kancamu." (Kenapa nak, kaki bapak sudak mati rasa. Tidak usah dipijit... pergi main sajalah sana dengan teman-temanmu.) Suara bapak mengiring gerakan tanganku yang melumurinya dengan parutan jahe hangat.

Aku tersenyum. Sesekali memandang wajah yang sudah terlihat gurat lelah itu. Tanganku tetap memijat dengan telaten. Lalu menjawab, "ben ora kaku pak. Arun emoh dolan." (agar tidak kaku pak. Arun tidak mau main.)

Wajahku murung saat teringat kemarin sore Bejo, anak kampung sebelah yang mengejekku dengan sebutan 'anakke wong cacat'. (Anak orang cacat)

"Ngopo Run? Kok sedih ngono?" (Kenapa Run? Kok sedih begitu?)

Suara bapak menyadarkanku dari lamunan. Seketika aku menggeleng, pun tersenyum sedih. "Koncomu meneh? Nakal?" tanya bapak lagi. Sedang aku mau tak mau mengangguk. (Temanmu lagi? Nakal?)

Tiba-tiba bapak mengelus kepalaku pelan. "Kowe ngerti nduk... bapak lumpuh ngene iki ora sedih. Ora." (Kamu tahu nak... bapak lumpuh seperti ini tidaklah sedih. Tidak.) -bapak tersenyum dan memandang teduh ke arahku- "Bapak malah seneng, isa ngrewangi tentara-tentarane dewek perang. Isa ngalahke londo kae. Bapak ra isin Run... peh bapak lumpuh. Lumpuhku ono gunane. Ono kenangane. Bapak ikhlas... ridho," sambungnya.
(Bapak malah bahagia, bisa membantu tentara-tentara kita untuk perang. Bisa mengalahkan londo. Bapak tidak malu Run... meskipun bapak lumpuh. Kelumpuhanku ada gunanya, ada kenangannya. Bapak ikhlas... ridho,)

ArundatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang