Hey, Paris!

15 0 0
                                    

"Oh, begitu, jadi kamu benar-benar tertarik dengan sastra ya?" Aku menjawab dengan anggukan dan senyum.

"Ladies! Ini pesanan kalian" Abell mengejutkan kami dengan membawa nampan berisi tiga gelas minuman. Oh iya, aku belum memberitahumu kan? Baiklah. Saat ini aku berada di kedai Starbucks sebelum mengantar Clarine pulang. Tentu saja bersama Abell dan Clarine.

"Ah! Merci sepupuku yang manis" kata Clarine sambil menyeruput kopi pesanannya.
Pandanganku kuarahkan ke Abell. Dieu, siapa yang menciptakan dia?

"Merci, Abell. Aku jadi merasa merepotkanmu" kataku padanya. Abell menatapku.

"Tidak masalah, Nara. Anggap saja ini permohonan maafku karena menabrakmu sembarangan" Abell menyeruput kopinya.

"Kamu memang ceroboh, Abe! Berapa kali aku harus bilang. Jangan bermain ponsel saat sedang jalan. Apalagi bersuka ria dengan Lavender" Clarine membuka suara sambil mengibaskan tangannya. Lavender? Siapa? Pacar Abell? Kuharap bukan.

"Ah shut up, Clars. Jangan begitu. Tapi setidaknya aku bertemu dengan gadis sepertinya. Kami memiliki banyak kesamaan. Itu bagus kan? Jadi kurasa aku bisa memperluas wawasanku" Abell tidak ingin kalah dengan sepupunya itu. Mereka sangat lucu. Kurasa, sepupu kadang tidak terlalu bisa dekat seperti mereka. Jika aku tidak mengenal mereka, mungkin aku akan berkata bahwa mereka adalah kakak beradik.

"Sudahlah. Lagipula itu sudah terjadi. Kenapa harus dibahas? Oh iya, ngomong-ngomong kamu ambil jurusan apa?" Aku mengambil alih topik. Pertanyaanku kutujukan pada Clarine.

"Arkeologi" jawabnya singkat. Arkeologi. Kuduga dia sangat pintar.

"Wow! Kamu hebat. Dulu aku sempat memilih itu. Tapi ditolak" aku mencebikkan bibir bawahku. Mengingat akan kejadian setahun yang lalu. Aku mendaftar di universitas yang memiliki jurusan Arkeologi. Namun apa yang terjadi? Tesku gagal. Aku ditolak. Itu cukup membuatku kecewa.

"Kurasa Arkeologi sama sekali tidak ada menariknya. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak penting" Abell membuyarkan ingatanku seketika. Menyerobot dengan pernyataannya yang membikin sepupunya-Clarine-mendelikkan matanya. Aku terkekeh.

"Sekali lagi kamu bicara seperti itu. Aku benar-benar menghabisimu disini, Abe!"

Aku terkekeh. Lalu berkata, "Kurasa mereka menarik untuk dipelajari" Abell mengangguk pasrah melihat senyum kemenangan dari Clarine.

***

Kami-aku dan Abell-melambaikan tangan pada Clarine. Yep, Clarine bilang tidak bisa menemani Abell mengantarku. Tidak masalah. Justru aku bisa menatap makhluk indah ini tanpa gangguan. Ups, lupakan.

"Jadi, kenapa kamu tertarik dengan Arkeologi, hm?"
Abell membuka suara tanpa memandangku dan memfokuskan pandangannya pada jalanan yang kini tampak ramai.

"Aku tertarik untuk mempelajari hasil kebudayaan manusia pada masa lalu, mulai dari kehidupannya sampai peninggalannya" aku menjelaskan pada Abell alasanku menyukai Arkeologi.

"Kurasa mempelajari masa lalu itu tidak begitu menarik" katanya mencibir. Ya, menurutku dulu itu sangat menarik tapi semenjak aku ditolak mentah-mentah, aku jadi benci dengan Arkeologi, tetapi masih memandang kagum. Aku hanya terkekeh pelan.

"Kurasa juga begitu. Sekarang aku lebih tertarik untuk menjadi seseorang seperti Shakespeare, Kahlil Gibran dan yang lainnya. Aku ingin menggunakan imajinasiku" kataku sebelum mobil Abell mengantarkanku, ralat-kami- pada jalanan yang berbelok dan ramai.

"Ya, itu lebih baik. Kamu bisa menciptakan semuanya menggunakan imajinasimu. Ingat? Imagination is more important than knowledge."

Aku tahu, itu kalimat dari Einstein. Kalimat yang selalu aku jadikan penyemangat disaat aku ditolak ketika pendaftaran tes Arkeologi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NARAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang