[]
PAGI hari di sebuah SMA bergengsi sebenarnya hampir tak ada bedanya dengan sekolah lainnya.
Katanya, kalau otak manusia makin pintar, rasa kepedulian juga akan meningkat. Karena manusia 'kan punya akal dan hati nurani untuk membantu sesamanya.
Tetapi toh, sepertinya semua manusia sama saja. Masa bodoh dengan apa yang dirasakan orang lain, kalau tidak berguna bagi diri sendiri, maka akan diabaikan dengan begitu mudahnya.
Bahkan, bertingkah seolah-olah matanya telah buta. Iya, mata hatinya telah buta.
"Lo tuh cuma sampah masyarakat, nggak bisa bersosialisasi, mau jadi apa?"
Penindasan ya, aku sudah sering mengalami hal seperti itu. Bahkan meskipun aku memutuskan untuk bersekolah di SMA bergengsi, rupanya tidak semua anak-anak di sekolah ini punya otak.
Byur!
Nah 'kan? Sudah kubilang aku sudah terbiasa kalau seragamku harus basah kuyup seperti sekarang ini. Perempuan berambut panjang di depanku ternyata benar-benar tidak punya otak.
"Udah yuk guys, bosen gue ngabisin waktu buat anak ansos ini."
Lho, siapa yang meminta kamu buat ngabisin waktu buat ngurusin anak ansos kayak aku gini? Aku memutar bola mata dan bangkit dari lantai koridor yang sedikit basah terkena tetes air dari seragamku.
Pandangan anak-anak di koridor langsung terlepas ketika aku mulai berjalan pergi. Yah, maaf deh, pertunjukannya sudah selesai, haha.
Lihat? Tidak akan ada yang peduli. Kurasa rasa kemanusiaan mereka sudah hilang entah kemana.
Krek
"Apa ada orang di sini?"
UKS kosong. Sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling, aku melangkah menuju lemari terdekat.
Mengambil seragam cadangan yang harusnya dipakai oleh anak-anak yang seragamnya kotor oleh alasan tertentu. Bukan dipakai anak-anak tertindas sepertiku.
Oh ya, toh pihak sekolah juga akan menutup mata tentang ini.
Setelah selesai berganti seragam, aku berjalan kembali ke kelas.
"Karin! Tadi lo dilabrak si Alea ya? Lo nggak papa?" Satu-satunya 'teman' yang kumiliki menyerocos saat aku baru saja mendaratkan bokongku di kursi.
Aku berusaha tersenyum.
"Ga papa, Alea doang mah," ujarku santai.
Dia Diandra. Karena kami satu meja, alias teman sebangku, aku jadi berteman dengannya.
Kalau kau tak mau menyebutnya terpaksa, sih.
Aku sebenarnya benci dengan hampir semua orang di sini. Karena aku tahu mereka semua itu palsu. Yah, aku juga palsu sih, haha.
Diandra ber-ooh ria dan kembali berkutat dengan ponselnya.
Lihat? Rasa kemanusiaan orang-orang jaman sekarang benar-benar menyedihkan.
Tetapi kurasa aku tidak perlu dikasihani mereka. Aku bisa meredam semua emosiku dengan caraku sendiri.
[]
Crash
Tes
Tes
Tes
Aku menatap kosong tetes-tetes darah yang perlahan keluar dari sayatan yang baru saja kubuat.
Ada beberapa sayatan lama di sebelah sayatan baruku yang sudah mulai mengering.
Entah sejak kapan, aku mulai melakukan ini. Self-harm. Masa bodoh dengan darahku, toh ini juga demi kesenanganku sendiri.
Yah, entah kenapa, selalu ada rasa lega yang menelusup ketika aku menyayat tanganku sendiri. Rasa yang menyenangkan, saat mengetahui kalau aku masih hidup dengan darah yang masih mengaliri pembuluh darahku.
Ada untungnya juga aku bersekolah di SMA bergengsi itu, seragam sekolahnya adalah lengan panjang. Tapi toh, kalaupun orang-orang melihat luka ini, mereka tidak akan peduli.
Karena sekali lagi, aku tidak berniat dikasihani oleh mereka, dan sebisa mungkin, aku menutupinya dengan seulas senyuman tipis.
Karena aku tahu satu hal :
Orang-orang hanya penasaran, bukan peduli.
[]
SENYUMAN
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamuflase [5/5 END]
Historia Corta[CERPEN] Aku akan menceritakanmu sebuah kisah. Kisah tentang betapa kejamnya dunia ini, menggilas orang-orang dari kalangan bawah. Kisah tentang betapa uang menjadi sesuatu yang jauh lebih dielu-elukan daripada kemanusiaan. Kisah tentang betapa miri...