Chap. 8

4.3K 683 12
                                    

Gue diem nggak bergerak mandangin langit-langit. Hari ini mager banget. Kelar UKK hari terakhir juga. Gue mendecak sebal lantaran mau nggak mau cemas apa Adam bisa ngerjain ujian terakhir tadi; duet maut Kimia sama Matematika. Gue nggak tau guru mana yang seenak dengkul dia bikin jadwal kayak gitu. Kenapa nggak Kimia sama Bahasa Indonesia aja sih? Atau Mat sama Bahasa Inggris. Atau apapun selain paduan mematikan Kim-Mat.

Kim-Mat, ha. Mirip kiamat. Inget ekspresi anak-anak di kelas tadi rasanya kayak emang hari ini kiamat kecil mereka sih. Sabodo.

Dan heeeii, jangan salah sangka. Walau gue dongkol dan keki setengah mati sama Adam lantaran dia ternyata nggak suka sama gue, bukan berarti gue bersikap childish dan nggak mau ngajarin dia lagi gitu aja. Kan gue anaknya baik hati, rajin menabung, jujur dan tidak sombong.

Dan karena gue terancam nggak naik kelas gara-gara nilai afektif gue sih.

Gue juga udah nyuruh Adam pindah ke kamar dia sejak itu. Biarin. Biar gue segera move on dari dia. Biar gue juga lega lantaran gak keganggu sama igauan dia.

"... hh," gue menghela nafas, mejamin mata.

Nggak ada yang ngasih tau gue kalau urusan perasaan itu lebih rempong dari soal-soal Matematika.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk," gumam gue, nutupin mata pake lengan kanan.

Tok! Tok! Tok!

"Gue bilang masuk, anjing!" bentak gue ke langit-langit.

Pintu berderit terbuka. Dari langkahnya, gue tau itu siapa.

"Taruh aja di meja belajar Bi," ujar gue.

"B-b-baik Den," terbata-bata, pembantu gue ngebales. Gue nggak ngerasa bersalah ngatain dia. Semua asisten di rumah ini tau kalau kelakuan gue emang kasar dan kurang ajar ke mereka. Itu karena gue benci mereka. Mereka takut dan tunduk di depan gue, tapi di belakang jelek-jelekin keluarga gue. Itu bikin gue muak. Ngata-ngatain gue anak adopsi lah, buangan lah, pelacur lah, terkutuk lah. Bangsat.

Tapi di depan Adam kemarin-kemarin, gue berusaha jadi anak baik. Gue nggak mau citra gue tambah ternoda―secara, dia udah ngatain gue monyet juga. Tapi sejak insiden kemarin gue udah masa bodoh sama semua orang. Apalagi Adam.

"P-p-permisi, Den," gumaman bibi gue terdengar kelar dia naruh Milo sama camilan gue.

Gue nggak bales. Gue pengen semua urusan ini cepat kelar, kelar, kelar. Dan mungkin habis itu gue bisa cabut pindah ke luar kota. Atau kabur dari rumah. Atau ke mana aja tanpa ada Adam di dalamnya.

"... psst, ciprik, lu tidur?"

Dheg. Adam? Ngapain dia masuk kamar gue? Padahal di depan pintu udah gue kasih sticky-notes buat dia nggak boleh masuk area ini. Bingung kan sekarang. Gue pura-pura tidur atau gimana ya?

"... oi, Kei."

Anjing kan dia, manggil nama gue lagi dengan baik dan benar.

"Berisik, gue udah bilang kan lo nggak bisa masuk ke kamar gue lagi!" bentak gue marah, tetap bergeming. Gue nggak mau natap mata Adam. Tiap kali gue bentak, dia selalu keliatan bingung dan kayak ngerasa bersalah. Bagus. Gitu aja terus sampai mati. Biar mampus dia sekalian.

"Kei, lu masih marah?"

"Bukan urusan lo, anjing!" gue nambah volume suara. "Gue bilang keluar!"

"Tapi Kei―"

"Keluar, atau gue teriak manggil satpam depan," ancem gue akhirnya.

Nggak ada balesan, dan nggak terdengar suara apa-apa. Gue tau Adam masih diem. Tambah benci gue sama keidiotan dia. Dikasih perintah 'keluar kamar' aja pending-nya setengah mati. Gimana bisa dia survive kuliah ntar?

Dan ketika sesuatu yang dingin nyentuh pipi kiri gue, refleks mata gue terbuka. Gue lepas lengan gue dari mata dan kayak kesetrum, gue langsung bangkit sebelum mundur cepat-cepat. Sialan. Adam sialan. Ngapain dia megang-megang wajah gue?? Jantung gue mulai nggak tenang dan gue natap dia, antara kaget dan siap buat marah.

"LO NGAPAIN HA?!" teriak gue murka. "GUE BILANG KELUAR!!"

Adam masih diam, natap gue. Respon dia bikin gue ngepalin tangan dan nggertakin gigi kuat-kuat.

"GUE BILANG KELUAR ANJING! KELUAR! KELUAR DARI KAMAR GUE!! KELUAR SEKARANG!!!"

Leher gue sakit. Kepala gue panas. Kenapa sih gue harus suka sama cowok yang begonya selevel Adam? Dia itu lebih bego dari manusia purba atau manusia otak udang. Udang juga kayaknya lebih pinter ketimbang dia. Dia itu sebego-begonya manusia yang pernah gue temuin dan gue benci dia setengah mampus.

"... Kei?"

Dan akhirnya, gue nangis untuk kali pertama sejak Adam nolak confession kemarin.

Gue njerit dan melengking. Dada gue sesak dan nafas gue nggak beraturan. Gue nggak bisa liat apa-apa lantaran mata gue buta sama air mata. Gue bener-bener pecah berantakan di depan dia, dan peduli setan, gue nggak bisa berbuat apa-apa lagi sama kondisi kejiwaan gue saat ini.

"... Kei."

Dan boneka beruang besar itu meluk gue lagi.

Nafas gue tertahan dan suara yang gue keluarkan teredam sama seragam yang masih Adam pakai. Aroma dia yang ternyata gue rindukan langsung masuk memenuhi paru-paru gue, dan efeknya bikin gue high. Lengan dia melingkar di pinggang gue dan dagu Adam beristirahat di pucuk kepala gue. Dia nepuk-nepuk punggung gue pelan, sesekali mengusapnya, dan bikin gue harus gigit bibir keras-keras biar gak pecah lagi.

Udah gue bilang kan dia itu baik.

"Gue nggak apa," suara serak gue keluar, beberapa menit kemudian. Meski gue bilang gitu toh, tangan gue tetap mencengkram bagian depan seragam dia. "Gue nggak apa. Lo bisa keluar sekarang."

"... iya?"

Suara Adam kayak nggak yakin, dan gue angguk-angguk cepat dengan wajah masih menempel di seragam dia yang setengah basah kena ingus sama air mata gue. Sabodo. Kan udah gue bilang gue nggak mau jaim lagi di depan dia kalau beneran niat move on.

"Gue nggak apa, serius," kata gue, padahal yang sebenarnya adalah gue lagi berusaha meyakinkan diri gue sendiri kalau beneran gue nggak bakal mati setelah Adam ngelepas gue nanti.

"... oke," gumam Adam, mulai menarik diri.

Gue mati-matian nahan suara untuk nggak ngerengek kayak anak kecil. Adam menjauh dan berdiri pelan-pelan, seakan dia ngetes apakah gue bakal histeris lagi atau enggak. Ampun deh, gue emang aneh. Tapi ini juga kan salah dia. Siapa suruh bikin gue salah sangka kalau dia suka sama gue juga? Itu kan kampret sangat.

Begitu pintu kamar gue tertutup, gue ambruk lagi ngebenamin wajah di bantal dan mengerang keras-keras.

Gue cuma butuh waktu kurang dari satu jam untuk suka sama dia, pas pertama kali kami ketemu masa tes masuk SMA dulu. Butuh berapa lama ya buat ngehapus bersih rasa suka itu?

Dan gue tanya karena gue nggak tau. Ini bukan sesuatu yang bisa gue itung pakai rumus relativitas Einstein atau teorema Phytagoras atau kesetaraan Kimia. Ini bukan hal yang bisa gue baca dan hafalin teorinya dan langsung ngerti gitu aja. Ini lebih kompleks dan gue nggak tau resiko yang gue ambil bisa sebesar ini kalau gue memutuskan untuk nggak lagi ngejar dia.

Ini bikin gue mati, dan gue rasa Adam nggak bakal tau hal itu. Atau peduli.

Chemistry [in ed.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang