Chapter 1: In Command

830 52 26
                                    

Hutan Argonne, Perancis
20 Januari 1918

"Garis depan Inggris berada di sektor ini dan garis depan Perancis berada di kanannya. Pada pukul 08.00 kita akan menyerang. Targetnya adalah garis parit di dekat Sonville. Kalian mengerti?" tanya kolonel tua itu sambil menunjuk-nunjuk beberapa lokasi pada peta yang terletak di atas meja.

"Mengerti," jawab kami serentak.

Lagi-lagi para jenderal memerintahkan sebuah ofensif baru. Ini bukan pertama kalinya kami mencoba untuk menerobos garis pertahanan musuh di sini. Namun para perwira meyakinkan kami bahwa penyerangan ini akan berhasil dan membuahkan sesuatu.

Aku mengelap keringat dari dahiku dan kembali menerawangi peta. Tembok-tembok yang terbuat dari kayu terus berdenyit akibat serangan-serangan artileri Inggris. Suara tembakan ikut meramaikan garis parit kami. Tidak dapat disangkal bahwa suasana di dalam parit komando itu penuh dengan keraguan. Bahkan Kolonel von Thienfeld terlihat lebih gugup dari biasanya.

"Atur jam kalian, Tuan-Tuan. Ofensif dimulai satu jam lagi," ujar kolonel sambil mengatur jamnya.

Kuputar jarum pendek ke angka tujuh dan jarum panjang ke angka dua belas. Arloji ini merupakan pemberian ayahku sebelum perang, pada hari kelulusanku dari akademi militer di Berlin. Walaupun kacanya sudah retak sebagian dan beberapa angkanya tidak dapat terlihat dengan jelas, benda ini merupakan pengenang akan semua serangan dan pertahanan yang pernah kesatuan kami lakukan di sini. Aku berusaha untuk terus menjaganya sampai perang berakhir, sampai aku pulang ke Jerman dan kembali bertemu dengan ayah.

Kolonel beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju pintu keluar. Tepat di pintu yang hanya berupa sebuah lubang, ia berdiri terdiam. Kepalanya menoleh ke arah kami dan memandang wajah kami satu per satu. Ekspresinya menujukkan sebuah antusiasme yang dibuat-buat. Suatu hal yang biasa dilakukan atasan kami sebelum sebuah ofensif baru dilaksanakan.

"Semoga keberuntungan bersama dengan kalian hari ini," katanya sambil memberi hormat. Von Thienfeld keluar dan pergi ke arah lapangan luas di belakang parit komando. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara mesin mobil yang semakin lama terdengar semakin jauh. Ia telah pergi.

Kini hanya tersisa kami bertiga. Tiga perwira muda yang memimpin sebuah batalyon Stosstruppen.

Namaku Florian von Hohenlöwen. Aku lahir di Brandenburg, Prusia dan merupakan anak seorang bangsawan. Dilahirkan pada tahun 1896, aku sempat merasakan bagaimana indahnya dunia sebelum perang. Merupakan sebuah kontras yang luar biasa.

Sebelum perang pecah, orang-orang beranggapan bahwa untuk ikut bertempur dan membela negara merupakan suatu hal yang heroik, membanggakan, terpuji, dan bahkan menjadi sebuah tujuan hidup beberapa orang. Namun tidak pada perang ini, tidak pada perang modern.

Beribu-ribu nyawa melayang akibat diberondongi senapan mesin, serangan gas beracun, terkena pecahan peluru artileri, penyakit, terbakar flamethrower, dilempari granat, ditembak oleh penembak jitu, dan masih banyak cara lainnya yang mengenaskan. Kebanyakkan dari mereka mati sedemikian rupa, bahkan sebelum sempat melihat musuh, demi merebut sepetak tanah yang dianggap strategis oleh para jenderal. Itukah aksi heroik?

Berkali-kali ofensif kami gagal mendapatkan hasil yang memuaskan. Mungkinkah ofensif ini akan berhasil? Seperti yang selalu dikatakan para petinggi-petinggi kami di markas mereka yang mewah dan jauh dari garis depan? Wajar apabila kami pesimis mengenai rencana ini.

"Markus, Florian, bagaimana menurut kalian?" Regner mendadak melontarkan sebuah pertanyaan saat ia duduk di kursi kayu yang terletak di pojok ruangan.

Regner Lichtenstahl dan Markus von Courson adalah bawahan sekaligus sahabatku. Walaupun aku sedikit lebih tua dan memiliki pangkat yang lebih tinggi dari mereka, hal itu tidak pernah membedakan atau membatasi pertemanan kami.

The Plague to End All Plagues (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang