Three

76 8 0
                                    

"Yaudah. Setelah ini gue bakal manggil lo ... Sayang," kata Bima setengah berbisik dan menekankan kata 'sayang'.

===============================

Refleks gue menimpuk Bima pake bantal yang ada di mobilnya. Dan itu sukses bikin dia hampir kehilangan kendali waktu nyetir. Untungnya kemampuan menyetirnya bisa diandalkan. Kalau enggak, gue nggak berani bayangin apa yang bakal terjadi sama gue.

"S-sorry, Bi," gue ketakutan setengah mampus. Rasanya kayak abis spot jantung.

Plis. Siapa juga yang enggak bakal langsung spot jantung kalo tiba-tiba mobil yang lo tumpangin muter 340° (bukan 360°) dan hampir nabrak mobil lain?

Tapi bukannya marah, Bima malah mengacak-ngacak rambut gue sambil tersenyum manis. Yap. Senyuman maut khas cogan.

"Enggak papa," katanya tenang.

Gue tercengang, enggak nyangka kalau dia enggak marah sama sekali. Setelah mendengar bunyi klakson dari mobil-mobil di belakang kami, mobil Bima kembali berjalan dengan mulus. Kali ini dia enggak berjalan terlalu cepat.

Tetesan kecil hujan turun membasahi bumi. Sebagian jatuh mengenai mobil dan bergerak perlahan di jendela.

Mobil merah ini berjalan mulus ke salah satu parkiran. Setelah terparkir dengan benar, Bima membukakan pintu untuk gue.

Huft.. Tahan diri. Lo udah sejauh ini! Masa gagal move on gitu aja?

Gue berjalan santai di sebelah Bima. Kami berdua masuk ke Cafe yang dimaksudkan. Selagi Bima memesankan minuman, gue menyiapkan bahan untuk diajarkan ke Bima nanti.

Sebenarnya, ini agak konyol. Bayangin sepasang cewek-cowok dengan style keren nongkrong di Cafe mahal hanya untuk ... ngerjain PR.

Ting...

Bunyi gelas kaca yang beradu dengan ujung meja, membuat lamunan gue buyar. Bima menyeret gelas berisi kopi itu ke depan gue.

"Kok diem?" katanya, salah tingkah.

"Setahu gue ini minuman mahal deh, Bi," ujar gue sambil menunjuk salah satu gelas yang Bima sodorkan ke hadapan gue.

Bima mengangguk. "Tapi enak kok. Enggak ada sianidanya juga. Cobain aja."

"Maksud gue bukan soal rasanya. Ha-"

"Enggak papa. Anggap aja bayaran karena udah mau bantuin gue," katanya, tanpa peduli dengan lanjutan dari kata-kata gue. "Mulai, yuk! Bantuin matematika dulu ya, Di."

Gue menghela napas.

Enggak nyangka kalau cowok yang pernah gue suka, cowok yang udah nolak gue habis-habisan, sekarang ada di hadapan gue sambil tersenyum.

***
Author POV

@ Rumah, 20:00 P.M

Bunyi decitan mobil terdengar saat Bima rem mendadak di depan rumah Diandra. Diandra memelototi Bima. Sayangnya, yang dipelototi hanya bisa cengengesan dan gerakan mulutnya membuat kata 'maaf' tanpa suara.

Tangan Diandra bergerak melepas sabuk pengaman dengan cepat. Namun saat hendak membuka pintu mobil, Bima dengan cepat kembali menutup pintu dan menahan lengan Diandra.

"Di..," panggilnya, pelan.

Diandra menatap Bima ketakutan. Dia sering mendengar kabar dari teman-temannya kalau Bima sering melakukan hal yang enggak-enggak, apalagi sama cewek yang baru diajaknya jalan.

Semoga kali ini bukan gue sasarannya, Diandra berdoa dalam hati.

"Pertama, gue mau bilang makasih karena lo udah bantuin gue," kata Bima.

Diandra mengangguk ragu-ragu. Sebenernya dia enggak yakin kalau Bima ngerti soal apa yang dia ajarin tadi. Masalahnya, Diandra udah berpuluh-puluh kali mergokin Bima lagi ngeliatin wajah Diandra, bukannya merhatiin soal yang Diandra ajarin.

"Kedua..."

Diandra menahan napas ketika Bima menggenggam tangan kanannya dengan lembut.

"Gue suka sama lo. Eh, ralat. Gue sayang sama lo."

Genggaman Bima ditangannya semakin erat. "Lo mau nggak jadi pacar gue?"

Diandra speechless. Makin deg-degan.

Otaknya terus berputar untuk mencari jawaban yang tepat. Tapi kali ini ia enggak bisa menyusun 1 kalimat saja.

Matanya terpejam. Ingatannya kembali tertuju pada masa-masa kelas 10, disaat Bima mempermalukannya.

"Lo cuma cewek culun!"

"Sok-sokan suka sama gue"

"Hadiah lo nggak bakal gue terima! Mending gue kasih ke anjing gue."

"Cewek kayak lo berani nyatain cinta ke gue? Sumpah, lo mending mati aja!"

Mengingat semua ucapan Bima dulu, perlahan Diandra mulai menangis. Mata Bima terbelalak saat tangisan Diandra pecah. Awalnya cuma isakan-isakan kecil ditambah air mata yang mengalir pelan, lalu berubah menjadi tangisan yang terdengar cukup memilukan. Namun saat Bima ingin memeluknya, Diandra justru mendorong dia.

Diandra menghapus air matanya. "Jangan deketin gue, Bi. Gue capek."

"Lo kenapa, Di?"

"Gue bilang gue capek. Lo enggak denger?" Diandra terdengar semakin jutek.

Usahanya untuk memaafkan Bima selama ini sia-sia. Bima bagai menggores luka baru ditempat yang sama.

Diandra hendak turun. Tapi lagi-lagi Bima menahan pergelangan tangan kanannya.

"Bi, lepas. Please."

"Dengerin dulu, Di. Kalo lo masih sakit hati gara-gara waktu itu, gue minta maaf. Lupain semua yang udah gue bilang sama lo. Lupain aja semuanya. Kalo lo mau, kita bisa mulai lagi dari awal."

Plakk.

Diandra menampar pipi kiri Bima. "Lo dulu udah bikin gue malu di hadapan satu sekolah, Bi. Bukan cuma malunya, bahkan lo nolak gue kayak gitu. Sekarang lo berani nyatain perasaan gitu aja tanpa pernah minta maaf? Hebat!"

"Gue enggak mau nerima lo."

Diandra keluar dan berjalan menjauh dari mobil Bima. Setelah Diandra masuk ke dalam rumahnya, Bima mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.

Sebagian dirinya merasa kesal, namun sebagian lagi merasa bersalah pada Diandra.

================================================

Hai! Sebenernya gue ga yakin sama cerita ini. Jujur aja. Ini pertama kalinya gue nulis cerita dengan gaya penulisan santai, bukan baku kek biasanya. Biasanya kan gue puitis puitis cetar gitu :v *gadeng

Karena berubah gaya penulisannya, gue sendiri ga yakin cerita ini bisa di pahamin apa engga :( feelnya dapet apa engga. Ngerti sama kata-katanya atau engga :( jadi please kalau emang banyak kekurangan tolong bilang aja yah di komen ^.^ thanks!

280316💖
Publish : 090416

UndoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang