Teriknya matahari seakan siap memanggang para siswa dan siswi baru yang sedang berbaris rapi. Padahal saat itu jam baru menunjukkan pukul sembilan, namun matahari zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu. Begitu kata orang tua sekarang. Entah benar atau salah. Hanya sang pencipta yang tahu.Sepasang mata itu menatap para siswa dan siswi baru itu dengan tajam. Seakan siap menerkam siapa saja yang berbuat kesalahan sedikit saja.
Peluh terus mengalir dari kening turun ke leher. Beberapa murid menelan salivanya, berharap saliva mereka berubah menjadi minuman dingin.
"Heh! Lo yang berdiri kedua dari belakang!" seru seorang kakak kelas. Wajahnya sangar, tubuhnya besar, tak ada setitik pun garis kecantikan pada wajahnya.
"A-aku kak?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.
"Iya! Maju sini lo!" perintahnya.
Gadis itu memutar kepalanya, mencari jawaban pada wajah teman-teman di sekitarnya. Namun, ia tak dapat menemukan jawabannya. Seakan-akan gadis itu berdiri seorang diri di situ dikelilingi patung berwujud manusia. Hati mereka terus merapalkan doa. Berharap bukan mereka-lah korban sasaran berikutnya. Sebab, menurut gosip yang ia dengar, kakak kelas yang satu ini dikenal galak bak harimau. Kata sebuah sumber, entah siapa yang mengatakannya. Gadis dengan perawakan besar itu berani menampar adik kelas yang melawan perintahnya. Parahnya semua guru di sekolah ini tidak merasa ada yang salah dengan itu. Karena orang tuanya termasuk salah satu investor di sekolah ini.
Gadis itu menarik nafas panjang. Berharap semuanya akan baik-baik saja sebelum akhirnya melangkahkan kakinya ke depan. Ketika siswi baru itu tiba di hadapannya, senyum sinis terukir di sudut bibir harimau betina ini. Begitu juga dengan semua mata yang berada di seberang sedang menatapnya dengan iba. Dan ia benar-benar tidak menyukai situasi ini.
"Nama?" tanyanya setengah teriak. Anggota OSIS yang lain berdiri di belakang gadis besar itu sambil cekikikan.
"Tivania Kak," jawabnya pelan.
"Ulangi! Yang kenceng! Gue nggak denger!" bentaknya.
Dalam hati Tivania menggerutu, tuli kok dipelihara. Ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya berteriak sekali lagi
"Tivania Kak!!" jawabnya dengan suara yang tinggi.
"Bagus! Gue suka suara lo!" Gadis berbadan besar itu mengedarkan matanya mencari lawan buat Tivania.
"Heh! Lo yang baris ketiga dari depan!" tunjuknya ke arah di mana siswa yang dia maksud berdiri.
Anak laki-laki itu menengok ke kiri dan ke kanan. Setelah selesai mengecek bahwa dialah yang di maksud. Maka anak laki-laki yang cukup tampan dan berkulit sawo matang itu melangkah maju ke depan tanpa ada guratan ketakutan di wajahnya.
"Sebutin nama lo!" Siswa itu menatap sekelilingnya lalu menyebutkan namanya. "Frans !" teriaknya lantang.
Seorang anggota OSIS yang lain berteriak memanggil gadis di hadapan Tivania dan Frans. "Beth!"
Annabeth, gadis berbadan besar itu menolehkan kepalanya. Matanya tertuju ke arah teman-temannya yang sedang asyik menonton dari sudut sekolah ini.
"Apaan? Gue lagi sibuk!" Annabeth menghiraukan panggilan temannya. "Lo berdua gue hukum!"
Tivania memandang kakak kelasnya dengan raut wajah terkejut. Dia tidak merasa melakukan kesalahan. Tapi kenapa dia harus dihukum!?
Begitu juga dengan Frans. Dia tidak terima, sejak awal ia memang tidak berniat mengikuti acara MOS ini. Kurang kerjaan, menurutnya. Lebih baik ia bolos. Tapi ancaman dari kepala sekolah yang akan men-drop out murid yang tidak mengikuti MOS berhasil menyeret Frans berada dalam barisan tadi.
"Kenapa? Lo nggak suka?" Kedua murid itu menggelengkan kepalanya bersamaan. Murid-murid yang lain hanya bisa diam. Takut menjadi korban berikutnya.
"Bagus. Sekarang lo berdua menghadap temen-temen sekelas lo. Terus gue mau lo berdua nyanyi sambalado sambil menari bebek nungging." Annabeth mengulum senyum sinis. "Buruan! Kenapa masih pada diam?"
Tivania menggigit bibirnya, rasanya ia yakin wajahnya sudah merah seperti tomat. Entah karena udara yang panas atau karena menahan malu. Tiba-tiba rasa pusing menjalari kepalanya. Tivania mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum pandangan matanya menjadi gelap.
Seorang lelaki, yang dikenal sebagai ketua OSIS, dengan sigap menangkap gadis itu ke dalam pelukannya. Untungnya ia memang berniat menghampiri Annabeth untuk jangan terlalu keras pada murid-murid baru itu. Sehingga setidaknya gadis bernama Tivania ini tidak jatuh terbentur lantai lapangan yang keras ini.
Sial! Umpat Frans sambil memandang . Pinter banget tuh cewek, pake acara pingsan!
Setelah Daffa, nama ketua OSIS tersebut, menggendong Tivania layaknya seorang putri menuju UKS. Annabeth kembali menatap Frans dengan wajah bete. Hilang sudah korbannya pertamanya.
Frans menatap ngeri memandang wajah lebar dan berjerawat di hadapannya. Cowok mana yang mau sama cewek buas kaya ini orang? Batinnya.
"Heh! Buruan lo lakuin perintah gue! Kalau lo nggak mau, lo semuanya kena hukuman!"
Mampus lo Frans! Pinter banget nih cewek buas buat permaluin lo di depan semua temen baru lo! Batinnya berkata lagi. Beberapa murid di seberangnya mulai berteriak meminta Frans untuk melakukan perintah Annabeth.
Frans menatap wajah Annabeth dengan berani. "Kok cuma gue? Cewek yang tadi bagaimana?"
"Dia pingsan! Masa gue mesti maksa orang pingsan joget?" kata Annabeth dengan wajah garang.
Frans terdiam. Dia adalah Frans Perdana. Dan dia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri di seperti ini. Biarin Pak Tua itu marah gara-gara gue dikeluarkan dari sekolah. Yang penting harga diri gue utuh! Putusnya.
"Gue nggak akan pernah mau lakuin perintah lo!" ujarnya lalu beranjak dari lapangan itu. "Ayo cabut!" ajaknya. Lalu beberapa anak laki-laki sekitar lima orang yang berdiri di dalam barisan ikut pergi menyusul Frans. Meninggalkan Annabeth yang termangu seperti keledai bodoh. Apa-apaan ini? Memangnya siapa dia sampai seberani itu?
***
Tidak ada suara bising yang mampir di telinganya. Padahal tadi suasana di lapangan sangat berisik. Tivania membuka kelopak matanya perlahan. Pertama kali yang dilihatnya adalah langit-langit sebuah ruangan, bukan lsgi langit biru.
"Kamu sudah sadar?" Sebuah suara berat membuatnya memiringkan kepalanya mencari sumber suara.
Di sana, disebelahnya, seorang laki-laki tampan dibalik kacamatanya duduk menggunakan kursi. Ada senyum lega pada wajahnya. Tivania masih terdiam. Bingung harus menjawab apa. Perlahan ia bangkit dari tidurnya. Sehingga ia sekarang dalam posisi duduk. Daffa hendak membantu tapi gadis itu menolaknya halus.
Seakan mengerti ekspresi bingung gadis itu, Daffa berkata, "Tadi kamu pingsan saat berdiri di depan lapangan. Kata dokter jaga kamu cuma pingsan karena terlalu lama diam di bawah teriknya matahari."
Tivania mengangkat kedua alisnya. "Hm..." Daffa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Intinya kamu tidak kuat kepanasan," ucapnya membuat senyum kecil terhias di bibir tipis gadis itu.
"Terima kasih sudah menolong aku, kak. Maaf merepotkan," kata Tivania pelan.
Daffa mengulum senyum, "Sama-sama. Sudah tugas aku juga sebagai kakak kelas."
Itulah awal perjumpaan antara Tivania dengan Daffa. Senyum lemah gadis itu menghangatkan hati Daffa. Aneh bukan? Tapi itulah yang ia rasakan sekarang. Padahal gadis itu tidak cantik, tapi manis. Rambutnya sebahu, dengan poni yang menumpuk di keningnya. Wajahnya pucat, tapi saat gadis itu tersenyum. Senyumnya seperti memiliki makna yang lain. Dan Daffa pun tidak mengerti. Yang ia tahu, ia mulai menyukai gadis ini. Mungkin inilah yang dikatakan cinta pada pandangan pertama, sebagaimana yang orang dewasa sering ucapkan. Jika benar, bolehkah ia memutuskan untuk menyukai gadis ini?
***