1. Bad Fate

121 8 4
                                    

Cermin tidak berbohong.

Setidaknya itulah yang kupercaya, hingga membuatku cukup kecewa saat menatap pantulan diriku di dalamnya.

Aku tampak lusuh dan tidak bersemangat. Ada warna gelap di bawah mataku dan aku sangat pucat. Tidak ada kata cantik sedikitpun untuk mendeskripsikan penampilanku sekarang.

Setelah melewati serangkaian perjalanan tanpa sadar lagi semalam, aku makin frustasi. Kupikir pindah adalah solusi terbaik dan aku bakal melupakan dan melepaskan apapun itu, baik yang mengikat atau yang membayangi masa laluku.

Nyatanya tidak. Ini tidak berangsur membaik. Ini semakin parah, dilihat dari siklus dan seberapa jauh aku dapat pergi dalam kondisi seperti itu.

Aku turun dari kamarku ke ruang makan di lantai satu dimana bibiku yang nyentrik sedang mengoleskan selai nutella ke rotinya, sambil sesekali bersenandung pelan.

"Selamat pagi Soo Jeong-ah." sapanya dengan suara melengking.

Aku membalasnya dengan senyuman ringan, lalu mengambil posisi duduk di hadapan bibi, supaya kami lebih leluasa untuk ngobrol.

Bibi mendorong bungkusan roti tawar ke arahku. "Maaf. Kau harus sarapan ini lagi." ia meringis dan menaikkan alis matanya.

"Hmm.. Tidak masalah. Ini memang membosankan, tapi menu nya simpel dan sehat. Aku menyukainya." Aku mengeluarkan selembar roti dan sibuk memilih selai.

Ekspresi wajah bibiku berubah drastis--berbinar-binar. Sungguh, hanya karena hal kecil saja. Aku kadang tidak percaya kalau ia adiknya Appa. Ia masih kelihatan dua puluhan, cantik dan juga sangat kekanakan.

Bibi menatapku lama dengan kedua mata teduhnya, "Aku senang kalau kau menikmati waktumu disini."

Ia terdiam.

"Terima kasih karena sudah memilihku." Sambungnya.

Oh.

Memilih?

Kalau ia tahu alasanku yang sebenarnya, apa ia masih merasa senang?

Semua orang tidak bisa menerima keanehan, dan akulah salah satunya. Aku juga berada dalam lingkaran berbahaya yang harus dijauhi.

"Umm.. Begitulah." balasku singkat, terdiam sejenak sampai aku melanjutkan aktivitas makanku. Mengoleskan selai kacang ke roti yang sama pucatnya dengan wajahku, sambil menahan tawa. Aku membayangkan jika melakukan hal memalukan itu--menghiasi wajah dengan selai--di depan teman sekolah baruku sebagai salam perkenalan. Mungkin aku bakal jadi trending topic dalam sehari dengan judul 'Si Murid Pindahan yang Gila Selai Kacang'.

Selama lima menit, kami menikmati makanan dalam hening--tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hal seperti ini sudah menjadi rutinitas baruku. Kami menyapa di pagi hari, mencari satu atau dua topik untuk dibicarakan sesaat, kemudian sibuk dalam dunia sendiri. Malam hari juga terjadi pengulangan yang sama.

Tapi di luar itu semua Bibi tampak tulus dan bahagia. Ketika pertama kali aku memutuskan tinggal bersamanya hingga sekarang, ia selalu penuh perhatian. Yah, dengan cara tersendiri yang membuatku nyaman.

Salah satu hal yang kusukai dari bibiku adalah ia tidak terlalu memaksa. Aku tahu ia sangat menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam tentang masalah pribadiku, dan itu melegakan.

Selesai makan, kami sepakat untuk membiarkanku mencuci piringnya sementara bibi menyiapkan mobil di garasi. Toh tidak terlalu banyak peralatan yang kotor, karena dua orang perempuan di rumah ini tidak pernah memasak.

One Eyed GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang