Masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas.
Aku hanya terlalu senang karena bisa mendapatkan mutual sleep, jadi aku bangun lebih awal dan pergi ke dapur untuk melakukan semacam eksperimen kecil-kecilan.
Di kulkas ada cukup banyak bahan makanan yang bisa digunakan. Karena bibi adalah tipe orang yang perfeksionis, ia menyediakan segala sesuatu supaya kami tidak kekurangan. Di sisi lain ia sangat mudah dibaca, hampir seperti kaca yang bening dan polos.
Dapur bibi kelihatan baru, mengingat kalau ia bukan koki yang baik. Tapi semuanya tersusun dengan rapi dan cantik. Ada lemari besar di pojokan dengan motif bunga-bunga kecil. Laci-laci putih dipasang di dinding atas konter dapur yang membentuk tiga sisi dari persegi.
Sambil mondar-mandir dan mencari alat-alat yang mungin kubutuhkan, aku masih terus melihat ponselku.
Pencarianku di internet menampilkan sederet hasil dari keyword 'menu sarapan sederhana', dan aku harus berpikir keras untuk mencocokkannya dengan persediaan yang ada.
Telur gulung dan omurice adalah pilihan terakhirku setelah melewati berbagai pertimbangan yang sulit--dan bahan-bahannya juga tersedia.
Semoga saja kali ini tidak seburuk eksperimen ke-18 ku di ruang klub tata-boga SMU Kyungri dulu. Aku menyebabkan kehebohan, dimana aku tidak sengaja menuangkan terlalu banyak anggur dalam wajan, hingga apinya menyala semakin besar. Karena panik, aku langsung keluar dari ruangan dan menekan tombol darurat. Alarm kebakaran berbunyi nyaring ke seluruh penjuru sekolah dan semua orang langsung berlarian dari kelas sebagai tindakan mengevakuasi diri.
Hari itu aku membuat dua kesalahan fatal. Pertama, jam pelajaran di Kyungri jadi non-efektif. Meski insiden itu telah berakhir, para siswa tidak bisa menghentikan diri mereka untuk tidak membicarakan kejadian yang sama berulang kali.
Kedua, sensor kebakaran membuat ruang tata-boga berantakan total. Langit-langit menyemburkan air ke seluruh penjuru ruangan untuk memadamkan api--yang sesungguhnya sama sekali tidak berbahaya ataupun berpotensi kebakaran.
Kekacauan tak terduga itu membuatku discorsing selama tiga hari dan wali kelasku mengirimkan surat peringatan kepada bibi Jin --kakak tertua ibuku-- yang waktu itu memegang status waliku.
Sialnya, bukan cuma itu. Seluruh anggota keluarga dari pihak appa dan eomma jadi memperdebatkan hak asuh. Mereka bilang aku masih terlalu muda untuk hidup sendiri, dan remaja sangat rentan terhadap perilaku-perilaku menyimpang.
Pikiranku buyar seketika saat bibiku berjalan mendekat, dengan langkah kakinya yang setengah di seret dan piyama tidur biru muda yang melekat di tubuh kurusnya.
Dalam tampilan seperti itu, ia persis aku. Maksudku, fiturnya hampir sempurna dan tampak seumuran denganku--tentunya tanpa warna kulit yang pucat dan menyeramkan. Soalnya aku mirip karakter pecandu atau orang stres yang suka mengasingkan diri. Dalam versi yang lebih ekstrim, teman-teman ku di Kyungri dulu memanggilku zombie.
Atau ketika aku bermain catch and death bersama anak-anak di panti asuhan --yang sering kukunjungi untuk bakti sosial sekolah-- peranku tidak jauh-jauh dari hantu penangkap. Tanpa melakukan kai-bai-bo pun, aku selalu mendapat posisi yang sama.
Anak-anak kecil tidak ingin ikut bermain apabila bukan aku hantunya. Mereka suka permainan yang penuh ketegangan dan terasa nyata. Hal itu membuatku kesal dan bangga di saat bersamaan. Aku mendapat julukan hantu Arang, ditambah popularitasku meningkat--meski cuma diantara para sosialis anak.
"Uhm.. Kau sudah bangun?" tanya bibi.
"Ah, ne!" Aku masih sibuk dengan ritual memasak, jadi aku hanya menjawab singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Eyed Girl
Romance(Dareun Saenghwal) Ahn Soo Jeong berpikir dirinya kerasukan. Ia berkali-kali bangun di tempat yang asing tanpa tahu apa yang ia lakukan dalam tidurnya. Namun apakah itu benar-benar kerasukan? Padahal ia merasa amat normal. Ataukah hanya kebiasaan sl...