Dogs are men's best friends? Oh, really?
AKU berlari secepat-cepatnya, mengabaikan rasa nyeri yang sepertinya mulai menggigit kulit tumitku. Di belakangku, gonggongan monster itu kian memudar. Namun tetap saja tak berhasil memperlambat langkahku. Aku baru berhenti setelah merasa jantungku nyaris meledakkan seisi tubuhku. Untungnya saat ini aku telah tiba di dalam kafetaria dan memanjatkan puji syukur sewaktu embusan angin dari pendingin ruangan menyembur tepat di tengkukku. Kurapikan rambutku yang untungnya dibuntut kuda. Bisa kubayangkan bila rambutku tergerai, pasti bakalan amburadul seperti baru melintasi angin puting-beliung.
Seraya berusaha memperoleh napasku kembali, aku membungkuk dan meletakkan kedua tanganku di pinggul. Dadaku rasanya seperti terbakar. Demi apa pun, aku bersumpah akan menghajar siapa pun yang bertanggung jawab atas hewan buas itu. Memangnya dia tidak bisa mengawasi monster itu supaya tidak berkeliaran dan mengganggu makhluk hidup yang terpaksa melewati area sialan itu?
Aku mengusap peluh yang membasahi wajahku.
"Sybil! Sini!"
Tanpa perlu mendongak, aku sudah tahu pemilik suara melengking yang memanggilku penuh semangat. Aku menegakkan punggung dan berjalan pelan menuju meja favorit kami di pojok ruangan ini.
"Tampang lo berantakan lho."
Aku mendelik, melempar lirikan tajam. Robin, rekan kerjaku yang tinggi-kurus menyamai tiang listrik, cekikikan. Kacamatanya melorot, sementara jari lentiknya masih sibuk membuka wadah bekalnya.
"Bil, itu piring lo, untung tadi lo titip duluan si ayam rica, sekarang kayaknya udah ludes." Kiko, rekan kerjaku yang manis, menarik kursi di sebelahnya untukku.
"Thanks, Ki. You're the best." Aku meletakkan ponsel yang terasa licin di genggamanku ke atas meja. Aku memang beruntung memiliki teman-teman setia di kantor ini walaupun baru beberapa bulan menjadi staf marketing. Pandanganku menyapu penghuni meja kami. Seperti biasa, kami selalu berempat, kadang berlima, di meja pojokan ini. Ada Robin, pria yang selalu sukses bikin aku tertawa namun kemudian mangkel setengah mati di detik berikutnya karena kenorakan dan kekepoannya. Ada Kiko, gadis manis berpenampilan chic yang sangat cekatan dan selalu dapat diandalkan. Dan ada Dinda, gadis pendiam yang nyaris tak bersuara bila tidak perlu.
"Kenapa sih lo berantakan gitu, Bil?" tanya Robin yang sepertinya sudah kebal dengan lirikan sebalku.
Aku mulai mencabik-cabik daging ayam sebelum mencampurnya dengan nasi hangat. Aroma bumbu rica yang menyengat membuat perutku makin merintih. Terpujilah siapa pun manusia yang menciptakan masakan ini.
"Iya, gue berantakan, nggak usah diulang-ulang kali. Tadi ada si Dodo sialan," geramku sambil melahap nasi, melenguh perlahan saat rasa pedas rica menyentuh indra pengecapku.
"Bukannya biasanya di dalam kandang atau dirantai?" Kiko menatapku prihatin. Kedua alisnya yang rapi terangkat.
Aku mengangkat bahu. "Mana gue tau? Yang jelas, I hate that monster. Kalau lihat gambar doggy lucu-lucu biasanya gue demen. Tapi, khusus buat yang satu itu, gue rasa dia punya dendam pribadi sama gue. Entah kenapa."
KAMU SEDANG MEMBACA
PLEASE, BE MY RED (Ongoing)
Roman d'amourAVAILABLE ON STORE 17 JULY 2017 "Kamu membuatku ingin hidup. Padahal sebelumnya aku begitu ingin mengakhiri hidupku." Kata-kata itu keluar dari mulut seorang pria yang tidak pernah merasakan cinta. Pria misterius yang mempertanyakan keberadaannya d...