"Lan gimana sama Daffa? Dia masih suka nge-contact lo?" tanya seorang gadis yang masih asyik memainkan pulpen, Utami namanya. Inilah pertanyaan yang mungkin sudah dihafalkan oleh gadis yang sedang menatap ke arah papan tulis berisi catatan Matematika.
Anggita Bulan Fazhira namanya, nama yang terdengar sedikit unik.Gadis itu sering dipanggil Lanlan oleh teman sebangkunya itu, ia merupakan gadis yang ramah dengan teman yang lebih dari hitungan jari tangan. Namun siapa yang mengira jika semua dari banyaknya teman, tidak ada yang selalu hadir ketika hari-harinya kelabu? Terkecuali teman sebangkunya itu, Utami Zakaria.
"Udah gak sering kok Tam, dia juga udah lelah kali mengejar sang Bulan." Bulan tertawa kecil tepat di ujung kalimat. Utami atau yang sering dipanggil Tami itu, hanya ikut tertawa, menemani lembutnya suara tawa si Bulan.
"Wajar sang Bulan dikejar-kejar. Orang cantik begini kok," Tami mencolek Bulan dengan gaya khasnya dan Bulan hanya menatap sinis sahabatnya itu.
"Tami jangan mulai, ok." Tami hanya mengangguk sembari mengeluarkan buku tulis dari dalam tasnya.
"Oke, eh by the way lo udah ngerjain tugas Biologi belum ?" tanya Tami sembari menghadap ke arah Bulan yang sudah menumpukkan wajahnya di atas lipatan kedua tangannya.
"Lah Biologi? Emang dikumpulin kapan sih?" dengan cepat Bulan mengangkat wajahnya, menatap bingung sahabatnya itu, dan yang ditanya malah menggelengkan kepalanya.
"Belum tau pasti sih gue, cuma ya besok kayaknya dikumpulin deh. Gue belum ngerjain juga nih, bantuin gue dong Lan, gue gak ngerti soalnya." pinta Tami kepada Bulan yang mulai menatap malas wajah peemopuan itu. "Please, ya?" Tami membulatkan matanya, memohon kepada sahabat tercintanya itu.
"Oke, dengan sangat berat hati dan kebetulan banget gue juga belum ngerjain, kalau gitu gimana nanti abis pulang sekolah kita kerjain bareng dirumah gue?" tawar Bulan sembari mencoba mengambil ponselnya yang ia letakkan di kolong meja.
"Oke mantap deh, emang sahabat yang paling the best deh lo! Eh nanti gue minjem hp lo ya buat ngabarin nyokap," Tami menampilkan deretan gigi bersihnya yang dilapisi kawat bewarna putih itu.
"Lah hp lo kenapa dah? " Bulan mendengus, menatap penuh selidik ke arah Tami.
"Gak punya pulsa, hehe." Tami mengacungkan jari tengah dan telunjuknya sembari menampilkan deretan giginya yang bersih itu.
"Yee amit dah, punya hp gak punya pulsa." Bulan menyenggol bahu Tami dengan sengaja, dan yang diperlakukan seperti itu, lagi-lagi, hanya tertawa.
Lalu tidak lama kemudian seorang Guru memasuki kelas. Semua murid sudah terduduk rapih di tempat duduknya masing-masing. Pelajaran pun dimulai, dan Bahasa Indonesia merupakan jam pelajaran ketiga hari itu. Semua murid memperhatikan dengan serius apa yang —Guru itu—Bu Elsa sampaikan. Bu Elsa nama Guru itu, salah satu Guru yang cantik dan juga ramah.
Setelah lebih dari satu jam berlalu, dengan bahasan materi konjungsi, akhirnya bel berbunyi, tanda surga dunia para murid berteriak. Setelah bunyi bel tersebut berhenti, baru lah Tami dan Bulan merapihkan buku-buku yang berserakkan di atas meja mereka.
"Tam, lo mau ke kantin nggak?" tanya Bulan kepada Tami yang masih memasukan buku ke dalam tasnya.
"Iyalah, lo?" jawab Tami sembari menolehkan kepalanya.
"Ofcourse, udah yuk ah lama lo," ajak Bulan seraya menarik tangan Tami yang masih menata buku di dalam tasnya.
"Yaelah, mau ngapain sih lo di kantin? buru-buru banget."
"Makan lah," Bulan menjawab singkat, masih dengan menarik lengan Tami, hingga mereka sampai di depan pintu kantin.
"Lan lo mau makan apaan? Biar gue yang pesenin, nanti lo yang milih meja, oke?" tanya Tami kepada Bulan yang masih menyapu pandangannya ke seluruh sudut di kantin.
"Apaan ya.. Samain kayak lo aja deh. Eh tapi minumnya gue mau es teh ya," jawab Bulan seusai menyapu pandangannnya, Tami mengangguk sebagai jawaban.
"Oke deh siap, yaudah ya gue mau pesen dulu." Seru Tami seraya menepuk pundak Bulan dan meninggalkannya untuk memesan makanan mereka.
Bulan melangkah mendekati meja kosong dekat ujung lorong, tempat yang lumayan untuk menikmati dinginnya angin alami, karena berpas-pasan dengan jendela ke arah taman kecil sekolahnya. Sesampainya di tempat itu, Bulan mengeluarkan ponselnya, dan membuka aplikasi dengan warna hijau sebagai latarnya. Selang dua menit kemudian, Tami datang berasama Ibu kantin yang membawa nampan.
"Nih punya lo dan ini punya gue," ucap Tami seraya duduk di hadapan Bulan
"Oke, thanks ya Tam."
"Iya sama-sama, eh btw seriusan si Daffa gak nge-contact lo lagi?" Tami melahap suapan pertamanya sembari menatap Bulan yang sedang menuangkan saus untuk makanannya.
"Iya kok bener,"
"Ada apaan ya kira-kira dia gak nge-contact lo lagi?" tanya Tami, dan Bulan hanya bisa menggelengkan kepala. Karena, Bulan juga tidak mengetahui alasannya. Mereka berdua menikmati makanan masing-masing tanpa suara yang menghiasi.
"Nah pas banget kan, kita selesai makan eh belnya bunyi." celetuk Bulan sembari menyedot es tehnya yang tinggal sedikit.
"Iya aja dah, terserah lu Lan. Udah yuk ke kelas."
"Oke, yuk."
***
Dua menit seusai bel masuk berbunyi, murid-murid baru memasuki kelas, dan tidak lama kemudian Pak Dami datang, beliau adalah guru Fisika. Tapi tenang saja, dia tidak sama seperti Guru Fisika lainnya.
Beliau jika sedang mengajar, akan menggunakan suasana santai. Beliau juga baik, ramah, penyabar, dan sepertinya belum pernah membentak muridnya.
Selama pelajaran berlangsung, Pak Dami banyak mengeluarkan lelucon lelucon lucu yang buat semua murid tertawa. Tipikal guru idaman untuk murid-muris malas, bukan?
"Oke sampai sini saja pertemuan kita kali ini. Assalamuallaikum wr.wb" ucap Pak Dami kepada semua murid dan dibalas dengan senyuman.
"Waalaikumsallam wr.wb," jawab semua murid di dalam kelas.
Pak Dami berjalan keluar dari kelas. Semua murid segera merapihkan pelajaran yang mereka pelajari hari ini.
"Eh Tam, lo jadi kan ke rumah gue?" tanya Bulan sekali lagi.
"Ya jadi lah! Mana sini minjem hape lo dong, buat izin ke nyokap." pinta Tami sembari menyodorkan tangan kanannya.
"Iye nih," Tami pun segera mengetik pesan yang akan ia kirimkan untuk bunya.
"Nih Lan, thanks ya," ucap Tami seraya menyerahkan ponsel hitam itu
"Iya sans aja lah. Eh iya, tadi yang di kantin gue belum ganti uang lo kan? Semuanya jadi berapa?" tanya Bulan seraya bergerak untuk mengambil dompet navy nya yang berada di dalam tas.
"Enggak usah sih santai,"
"Ya gak boleh gitu lah gila. Kan itu pesenan gue juga. Yaudah nih gue kasih segini, nanti kalau kurang bilang ya kalau lebih buat lo aja lebihnya, oke." ucap Bulan sembari memberikan uang itu kepada Tami.
"Yaudah lah makasih ya Lan," jawabnya.
"Iya sama-sama sih sans. Yaudah yuk kerumah gue."
"Kuylah, HAHA." Bulan dan Tami tertawa bebas. Mereka berdua berjalan beriringan. Tami merangkul bahu Bulan, dan mereka pun pergi menuju rumah sang Bulan. Jadi, seperti ini lah awal kisah sang Bulan, terlihat begitu manis, bukan? Ya sangatlah manis, kita lihat saja kedepannya seperti apa kehidupan itu. Lebih kejam atau mungkin lebih lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's My Way
Teen FictionKehidupan tak selalu manis. Seperti coklat, ada manis ada paitnya pula. Semua tergantung bagaimana kita menjalaninya. -Bintang- Kehidupan memang selalu pahit buatku. Selalu terasa pahit jika aku sedang mencoba hidup yang manis. Aku tahu, ini merupak...