Hari itu cuaca terasa hangat walaupun letak matahari sudah berada di atas kepala. Di koridor istana bagian selatan, terlihat Heiden sedang berjalan seorang diri. Ekspresi ketidak percayaan terlukis di wajahnya.
"Aneh," katanya pelan.
Bukannya tidak senang jika kesehatannya membaik, Heiden hanya heran pada tubuhnya sendiri. Selama dua minggu terakhir, sakit yang dideritanya tidak kambuh. Padahal dia bekerja tanpa henti membereskan urusan negara dan hampir tidak sempat beristirahat. Sebelum ini, kepalanya akan berdenyut hebat apabila dia kelelahan dan kurang istirahat walau hanya sehari saja. Dan barusan dokter istana bilang bahwa Heiden baik-baik saja? Sungguh sulit dipercaya.
"Sejak bertemu gadis itu, ya?" gumam Heiden lagi, masih tenggelam dalam pikirannya sampai ada suara memanggilnya.
Heiden menghentikan langkah dan menolehkan kepala. Seorang pria berambut ikal coklat keemasan berlari kecil ke arahnya. Rheinallt Dragomir, salah satu tangan kanan Trean, mendekati Heiden sambil menyeringai.
"Apa yang sedang kau pikirkan sampai seserius itu? Kau jadi terlihat lebih tua dari biasanya." Rheinallt menatap Heiden dengan mata tajam berwarna abu-abu terang miliknya.
Seperti biasa, kata-kata kasar dengan pandangan yang tampak jahat. Keluh Heiden dalam hati.
"Tidak, bukan apa-apa." Heiden kembali berjalan. Dia bertanya, "Kau juga dalam perjalanan ke tempat Pangeran Trean?"
Rheinallt mengangguk pelan lalu berkata, "Sepertinya dia ingin membicarakan sesuatu yang penting secara pribadi."
"Penting? Tentang apa?"
"Entahlah." Rheinallt mengangkat bahunya. Sambungnya, "Aku tidak tahu detailnya."
Pembicaraan terhenti dan mereka berjalan dalam diam. Sesampainya di depan ruangan tempat Trean berada, Rheinallt langsung membuka pintu tanpa mengetuknya dan masuk tanpa memberi hormat.
Heiden mengikuti Rheinallt sambil mengomel, "Rhein, bisakah kau sedikit memperbaiki tindak-tandukmu itu?"
"Kau mengeluh tapi mengikutiku masuk tanpa memberi hormat juga," ejek Rheinallt.
Yang dimasuki oleh Heiden dan Rheinallt adalah ruang kerja Trean. Ruangan itu luas dan tampak mewah. Dindingnya dihias dengan pelapis berbahan beludru hijau dengan motif perak yang terlihat elegan. Perabot yang ada di dalamnya tidak terlalu banyak. Hanya ada meja dan beberapa kursi bergaya renaissance. Di salah satu sisi ruangan terdapat lemari buku besar yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi dengan ukiran-ukiran rumit. Lemari itu penuh dengan buku dan dokumen.
Terlihat Trean sedang duduk di belakang meja kerjanya, memeriksa dokumen-dokumen kerajaan yang menumpuk. Pria itu menyambut dua orang tersebut tanpa mengalihkan pandangan dari kertas yang sedang dibacanya.
"Oh... Kalian sudah datang? Aku menunggu dari tadi."
"Maaf jika kami membuat anda menunggu lama, Your Highness." Heiden membungkukkan tubuh sedikit.
"Sudah kubilang tidak perlu seformal itu jika hanya ada kita bertiga, Heiden," keluh sang Pangeran.
"Baiklah, terserah kau saja. Lagipula yang barusan gara-gara kebiasaan," kata Heiden.
Trean mengangkat wajah, mata merah rubi miliknya menatap Heiden. Dia bertanya, "Ngomong-ngomong, kau baru saja memeriksakan kesehatanmu?"
Heiden menjawab pertanyaan itu dengan anggukan.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Trean lagi.
"Baik-baik saja," balas Heiden singkat.
Rheinallt, yang dari tadi memperhatikan Heiden, angkat bicara, "Kenapa kau malah terlihat tidak puas begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Knight & The Witch
Ficción históricaCustodia, akhir abad 17, waktu terjadinya akar dari kekacauan yang melibatkan penyihir-penyihir yang ada di negeri tersebut. Lalu, awal abad 18, diberlakukannya pelarangan penggunaan sihir dan diasingkannya penyihir kerajaan ke daerah terpencil. Par...