Ini hari pertama bagi dinda mengikuti pelajaran di pondok ini. Kelas yang berlangsung seperti kelas pada sekolah umumnya, badanya hanya ini dilingkungan pondok. Di kelas dia mendapatkan teman lagi namanya Azzahra Maulana, dia ini anak dari pak kyai. Dinda bersyukur dia bisa menjadi teman anak seorang kyai. Zahra sendiri tak membedakan teman-temannya, ia seperti anak-anak lainnya.
"Kamu yang kata Umi baru datang kemarin itu ya?" tanya Zahra kepada Dinda.
"Iya, aku mohon bimbingannya ya selama aku belajar disini."
"Pastinya, kamu bisa tanya apa saja sama aku, kalau kamu ada waktu kamu bisa berkunjung ketempatku juga."
"Maksud kamu? Kerumah pak kyai?" Dinda setengah tidak yakin.
"Iya, kamu nggak perlu sungkan, abah bukan orang yang menakutkan. Beliau memperlakukan semua muridnya dengan sangat baik."
"Maksudku bukan seperti itu, aku kan hanya murid biasa." Dinda merasa minder. "apa memang boleh berkunjung ke tempat pak kyai?"
"Memangnya siapa yang melarang? Aku justru tambah senang jika ada yang maen kesana. Murid disini jika ada yang aku ajak kesana mereka jarang mau." Zahra setengah bersedih berkata seperti itu. Ia sangat ingin seperti teman lainnya yang selalu bisa cerita-cerita bersama. Jika keluar selain ada kegiatan, abahnya atau kakaknya memang sering melarangnya. Temannya yang diajak kerumahnya pun jarang ada yang mau.
"Tenang saja jika aku ada waktu pasti mau pergi kerumahmu, memangnya siapa sih yang tidak mau punya teman dekat anak seorang kyai." Dinda menjawab dengan bercanda.
"Kamu menyenangkan..kita bersahabat ya sekarang." Zahra meminta.
"Tentu." Jawab Dinda akhirnya.
Zahra tersenyum bahagia akhirnya ada juga temannya yang mau dekat dengannya.
Aktifitas hari ini memang melelahkan, adinda juga harus menyesuaikan diri dengan lingkungan disini. Menjalankan shalat lima waktu pun masih terasa sangat berat. Terkadang ia sering mengingat saat-saat dirinya pergi ke mall bareng sahabat, nongkrong di kafe, ngecengin cowok-cowok ganteng bin tajir di sekolah biarpun dia sudah punya gebetan. Hancurnya hubungannya dengan Tristan pun mampu mengubah segalanya, mengubah suasana hatinya, memporak-porakkan fikirannya. Dia memang telah berjanji tidak kan menangisi seorang cowok lagi, tapi hatinya ternyata tidak bisa menyangkal. Ia masih sering mengingat cowok itu di waktu luang kegiatan.
Memang apa hebatnya Tristan? Kenapa segitu susah melupakannya? Ia bukan sosok ayah atau kakak yang selalu mendukungnya. Ia hanya sosok seorang cowok yang sekedar mampir di kehidupannya. Ia berharap semoga allah segera melupakan ingatannya tentang bayangan cowok itu.
Lebih baik dirinya sekarang menghubungi kakaknya, menceritakan semua kegiatan barunya disini.
"Hallo Kakakku sayang..." sapanya saat kakaknya menjawab telfonnya pada deringan pertama. "Adekmu ini kangen loh sama dirimu."
Kakaknya mendengus kesal di seberang sana, "Huhh, tumben kamu telfon kakakmu ini, apa ada sesuatu yang mau kamu minta?"
"Kakakku ini selalu saja berfikiran buruk jika aku telfon, memangnya nggak boleh apa kalau aku telfon kakak?" Dinda setengah kesal mendengar jawaban kakaknya. Memang sih, dia sering nelfon kakaknya kalau dia sedang menginginkan sesuatu atau meminta tolong sesuatu.
"Sejak kapan gue jadi aku? Kamu sudah berubah ternyata dek..."
"Ihh, kakak itu kan gunanya aku ada disini.." Dinda makin sebal. "Yasudah deh aku tutup telfonnya, bicara sama kakak bikin aku tambah bête, Assalamualaikum." Dinda langsung mematikan telfon tanpa mendengar jawaban salam dari kakaknya dulu.