11. Kabur

267 40 2
                                    

****

Hujan turun membasahi Ibukota sore ini. Sasya sedaritadi hanya menyaksikan hujan deras dari dalam mobilnya sambil menunggu Januar. Saat ia mulai bosan menunggu, tangannya tergerak untuk mengambil handphone-nya yang dari tadi memberi notifikasi,

Emiw : Emiw sent you a photo

Emiw : Heran deh knp gue ganteng banget :(

Emiw : Btw, lau dmn nyong?

Sasya menggerakan jarinya untuk membalas sesuatu, namun itu tidak jadi dilakukannya. Ia kemudian meletakan HPnya kembali dan tiba-tiba saja ada yang mengetuk kaca mobilnya dari samping.

"Sya, aku aja yang nyetir." pinta Januar. Sasya pun langsung menggeser tubuhnya ke samping jok pengemudi.

Mereka menuju suatu tempat yang Sasya sendiri juga tidak tahu kemana. Ia hanya menuruti Januar yang berjanji untuk membawanya ke dokter untuk 'periksa'. Sepanjang perjalanan keduanya hanya berdiam diri, sampai akhirnya Januar memulai pembicaraan.

"Aku bener-bener minta maaf ya Sya." ucap Januar, namun Sasya masih menatap keluar jendela tanpa mempedulikan apa yang Januar katakan.

Tiba-tiba Januar sudah membelokan mobil masuk ke sebuah tempat. Bangunan itu terlihat tua, cat-nya sudah mulai pudar. Sasya tidak tahu persis ini tempat apa, namun tempat ini masih terbilang ramai. Dan.... Sasya bisa menebak mereka yang berdatangan pasti seusia-nya. Saat Januar selesai memarkirkan mobil,

"Ini tempat apa?" tanya Sasya,

"Ini 'rumah sakit'."

"Rumah sakit apaan bobrok begini? jangan aneh-aneh deh."

Jelas lah Sasya khawatir. Dari penampakannya saja Sasya bisa menilai kalau rumah sakit ini kurang layak.

"Percaya sama aku, kita turun dulu." ujar Januar meyakinkan.

Sasya pun mengalah. Akhirnya ia menuruti Januar dan masuk ke tempat itu. Memang sih, tempat ini jika sudah masuk terlihat seperti rumah sakit karena perawatnya saja menggunakan seragam 'perawat' yang semestinya. Mereka pun berhenti di meja resepsionis,

"Mbak, saya mau tanya, kalau mau 'kuret' usia kandungannya-" belum sempat Januar selesai bicara, Sasya memotongnya

"Bentar.. apa lo bilang? kuret?"

"I-iya Sya.." Sasya langsung menarik pergelangan tangan Januar untuk menjauh dari meja resepsionis itu.

"Lo gak ada bahas soal kuret ya!" ucap Sasya sambil menahan tangis dan melipat kedua tangannya di dada

"Cuman itu satu-satunya jalan Sya, aku gak tau lagi harus gimana.."

"Ngga! Lo harus tanggung jawab lah! Jangan seenaknya ngebunuh nyawa, apalagi ini nyawa anak lo!"

Kalau saja rumah sakit itu tidak ramai, Sasya pasti memaki Januar sekencang mungkin

"Maaf Sya, aku gak bisa. Aku gak mungkin bilang ke orang tua aku kalo aku-"

"Masa bodo lah! Lo udah ngelakuin, lo harus tanggung jawab!"

"Kamu gak akan ngerti Sya, keluaragaku-"

"Disini bukan lo doang yang rugi Jan! Gue juga! Kehormatan gue hilang, harga diri gue hilang, dan masa depan gue juga hilang!" Sasya sudah tidak dapat membendung amarahnya. Ia tidak peduli orang lain berlalu lalang sambil menyaksikan mereka yang tengah ribut

"Please Sya, pikirin baik-baik lagi. Kalo kita harus tanggung jawab, gimana kita hidupin anak kita nanti-"

"Gue gak mau tau pokoknya lo tanggung jawab Jan! Gue gak mau tau dan gue gak mau gugurin anak ini!" Sasya menangis sambil berkali-kali memukul dada Januar dengan kencang

S A S Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang