3 - Orang Terakhir yang Pengin Darren Lihat

169 32 6
                                    


DARREN tidak tidur begitu sampai rumah. Sejujurnya, ia takut untuk tidur, apalagi bermimpi. Ia berbaring di atas tempat tidur dengan mata terbuka dan pikiran melayang ke mana-mana. Ia tahu ibunya sempat masuk ke kamar untuk mengeceknya beberapa kali. Dan setiap kali ibunya masuk, Darren buru-buru memejamkan mata dan pura-pura tidur.

Darren berbaring selama berjam-jam sampai kepalanya pening. Barulah saat waktu makan malam tiba, ia menyeret diri keluar kamar dan menuju meja makan.

"Merasa baikan?" tanya Mrs Johnson.

"Ya," sahut Darren, lalu duduk menghadap meja makan.

"Kau tahu," kata Mrs Johnson sambil melepas celemeknya, "Kau boleh tidak ke sekolah besok kalau kau butuh istirahat. Aku akan siapkan makan siang sebelum pergi kerja. Kau tinggal menghangatkannya kalau lapar."

Darren memperhatikan ibunya yang sedang mencuci tangan. Ibunya bekerja sebagai pelatih klub panahan di sebuah sekolah swasta. Sekolah itu sebenarnya punya guru olahraga yang bisa melatih anak-anak di sana untuk memanah. Tapi, kata ibunya, si guru olahraga itu tidak mengerti soal panahan sebaik dirinya. Walau sebenarnya, semua yang ibunya lakukan cuma memberikan teori dan mengarahkan.

Darren pernah melihat sewaktu ibunya melatih anggota klub panahan. Saat ia bertanya, "Kenapa Mom tidak pernah mencontohkan apa yang Mom ajarkan pada mereka?", ibunya menjawab dengan santai, "Meski aku tidak memberi contoh, aku masih lebih baik dari guru olahraga di sini."

"Kalau Mom sehebat itu, kenapa tidak jadi atlet panahan saja?" kejar Darren.

"Aku sudah merelakannya demi ayahmu."

"Merelakan mimpi menjadi atlet panahan?"

"Lebih besar dari itu, Sayang..."

"Kenapa merelakannya? Dad tidak suka Mom memanah?"

"Bukan itu," jawab ibunya. "Hanya saja, waktu itu aku diharuskan untuk memilih. Dan aku memilih ayahmu."

Ibunya begitu mencintai ayahnya, Darren tahu itu. Ia hanya tidak tahu apa dari ayahnya yang bisa membuat ibunya begitu. Sesungguhnya, sedikit sekali yang Darren ingat mengenai ayahnya. Ayahnya meninggal karena sakit parah saat Darren masih berumur empat tahun. Ia mempelajari rupa ayahnya dari foto-foto yang tergantung di ruang tengah, kamarnya, serta kamar ibunya. Di beberapa foto, ayahnya terlihat sedang menggandeng Darren, memangkunya, menggendongnya. Tapi, sekeras apa pun Darren mencoba, ia tidak mampu menggali cukup jauh ke dalam ingatannya untuk mengingat seperti apa bau badan ayahnya, sedalam apa suara ayahnya, seperti apa rasanya berada begitu dekat dengan ayahnya.

"Darren..."

Darren mengerjap. Ibunya sudah duduk di hadapannya.

"Bagaimana?" tanya Mrs Johnson.

"Tidak usah," sahut Darren. "Aku bisa ke sekolah besok. Aku baik-baik saja."

Mrs Johnson menggeleng-geleng.

"Apa?"

"Kau tidak baik-baik saja," kata Mrs Johnson. "Kalau kau melewatkan kesempatan untuk tidak ke sekolah begitu saja, pasti ada sesuatu yang salah."

"Mom, begitu caramu memandang putramu selama ini?" Darren protes.

"Well, aku ini ibumu. Aku kenal betul dirimu."

Darren meletakkan sebelah tangannya di depan dada. "Aku terluka, Mom. Sungguh."

Mrs Johnson tertawa. Darren ikut tertawa. Beberapa minggu lagi Darren bakal rela merengek sampai tenggorokannya kering demi bisa menjalani hidup seperti ini selamanya, yang sederhana dan bahagia.

Darren Johnson and the Mark of the Great ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang