7 - Rumah Pisa di Dasar Laut

56 11 0
                                    

Kenyataannya, Surga itu hanya berupa lautan dan kau tidak bisa bernapas di Surga karena begitu Darren mencoba untuk bernapas (terlepas dari kenyataan bahwa ia sudah tamat), ia langsung tercekik oleh air yang masuk ke dalam mulutnya.

Remaja itu mengerjap. Ia menemukan Zora tidak jauh di depannya dengan kepala terbungkus gelembung. Sang penyihir mengayunkan tongkatnya. Dari ujung tongkat sihirnya yang mirip biji pinus itu, menyeruaklah gelembung-gelembung kecil yang melesat mengerumuni kepala Darren. Gelembung-gelembung itu kemudian berkumpul membentuk gelembung udara sebesar helm, membungkus kepala Darren. Saat remaja itu mencoba lagi, ia sudah bisa bernapas dengan normal.

Zora kemudian menunjuk ke bawah dengan tongkatnya. Darren tidak tahu seberapa dalam lautan yang sedang menelannya, tapi di sana, di arah yang ditunjuk Zora, ia dapat melihat dengan jelas ada sebuah rumah yang berdiri miring di dasar lautan. Tadi, rumah sebatang kara di antah berantah. Sekarang, rumah Pisa di dasar lautan.

Darren mengerang dalam hati. Setelah apa yang menimpanya di rumah Arthur, Darren sudah bertekad tidak akan sudi lagi menginjakkan kaki di rumah-rumah aneh. Tapi, tentu saja Zora tidak sependapat. Sang penyihir mulai menyelam ke dasar. Pikir Darren, mungkin rumah miring aneh itu bagi Zora sama seperti galeri lukisan bagi ibunya. Sama-sama membangkitkan minat, dan sungguh, Darren tidak keberatan dengan selera dua perempuan itu (meski tetap saja ia tidak habis pikir) asalkan mereka tidak melibatkannya. Sayangnya, ketika Zora berhenti dan menoleh ke belakang, Darren tahu kemiripan Zora dan ibunya tidak hanya sebatas ketertarikan mereka pada hal-hal yang ia benci, tapi juga kesenangan mereka dalam menyeretnya.

Zora mengisyaratkan dengan dagunya agar Darren ikut menyelam bersamanya. Darren, mempertimbangkan kenyataan bahwa Zora bisa membuyarkan helm-bantu-pernapasan yang ia kenakan kapan saja, menurut dengan berat hati.

Pada kesempatan lain, rumah Pisa itu mungkin tidak akan kelihatan buruk. Sama seperti rumah Arthur, rumah di hadapan Darren itu terbuat dari kayu dan bertingkat dua. Bedanya, jika rumah Arthur dikelilingi oleh ilalang-ilalang sekarat, rumah miring itu diselimuti oleh terumbu-terumbu karang dan ganggang-ganggang yang entah bagaimana bisa tumbuh dari dinding rumah. Sambil tetap mengayunkan kedua kakinya, Darren mulai berspekulasi barangkali rumah itu sebenarnya hidup. Ganggang-ganggang itu adalah rambutnya dan terumbu-terumbu itu adalah jerawat batunya, dan ketika mereka masuk, rumah itu bakal menyambut mereka layaknya makan malam yang didapat secara cuma-cuma. Darren menelan ludah. Mungkin terlalu mengada-ada. Tapi, kalian tidak bisa menyalahkan Darren. Setelah dunianya jungkir balik seperti sekarang, memikirkan yang terburuk dengan imajinasi terliar bisa saja menyelamatkan hidupnya barang beberapa detik.

Zora menyelam masuk. Darren mendesah, lantas membuntutinya. Jelas sekali penyihir itu tidak punya imajinasi.

"Woah!" Darren berseru dan tersungkur. Keningnya membentur lantai kayu.

"Ssshhh!"

Darren mengangkat wajah dari lantai. Digosoknya keningnya yang malang. Linglung sebentar, ia kemudian sadar kalau ia tidak lagi menyelam. "Tidak ada air," gumamnya.

"Jelas sekali." Zora terdengar malas.

Darren berdiri. Ia ingin bertanya "bagaimana di sini tidak ada air sementara di luar adalah lautan?", namun urung. Setelah menyaksikan cukup banyak hal yang ia pikir tidak mungkin berlangsung di depan matanya, terus-menerus bertanya "bagaimana bisa" akan membuatnya terdengar seperti anak kecil. Ia mesti mulai menancapkan kalimat berikut dalam kembang kol ajaib yang ada di dalam kepalanya: mulai sekarang, semuanya mungkin aja.

Sebagai gantinya, Darren pun melemparkan pertanyaan yang sudah bercokol di ujung mulutnya sejak ia tiba di lautan Surga ini. "Apa kita sudah mati?"

Darren Johnson and the Mark of the Great ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang