Ruang Kecil di Sudut Hati Bab 6

1.8K 85 31
                                    

6

Rey

Saat yang paling menyeramkan untukku datang tiga hari kemudian. Waktunya untuk memberitahukan tentang hubungan kami kepada teman-temanku. Walau bagaimanapun dia menenangkanku, tapi aku tetap merasa ingin melarikan diri.

Inilah ketakutanku yang terbesar.

Aku sudah di kampus ketika text-nya masuk mengabarkan mereka sudah berkumpul. Dia mengumpulkan mahasiswa bimbingannya—teman-temanku—di ruangannya. Dan aku datang bergabung seakan tidak sengaja datang ke kampus.

Kutarik napas dalam-dalam—menyiapkan diri. Lalu dengan perlahan aku berjalan meniti selasar yang mengarah ke ruangan Pak Ian.

"Rey..." Dewa memanggilku, "Mau ke mana?"

"Masuk, Rey," suara lembut Pak Ian membantuku. Aku tak perlu menjawab pertanyaan Dewa.

"Dah kumplit, Pak. Anak angkat juga dah dateng tuh." Merujuk padaku.

Aku duduk di fave spot. Terjepit di antara Seto dan Nana.

"Kalo udah formasi lengkap, mau ngapain?" tanya Pak Ian.

"Lah, Bapak ngajak kita ngumpul mau ngapain?"

Dia terdiam sesaat, menatap kami semua satu per satu, berhenti beberapa detik lebih lama ketika menatapku. Aku menunduk, tak sanggup balas menatapnya.

"Cuma mau ngasi kabar aja. Kalo kami mau nikah. Sekalian ngasi undangannya. Kalian spesial banget. Jadi kami ngga mau titip ngasi undangannya. Harus kami yang ngasi langsung." Tidak ada yang sadar dengar perubahan subyek dari kata ganti orang pertama tunggal menjadi kata ganti orang pertama jamak.

"Ciee... sumpe, Pak?" Suara Dedew. Aku terus menunduk.

"Ini undangannya. Sudah kami siapin." Tangannya memegang setumpuk undangan. "Kalian yang pertama tau soal pernikahan kami di kampus."

"Selamat ya, Pak..." Suara Dinda.

"Mana undangannya, Pak? Kita usahain dateng deh." Suara Nana. "Ya kan, Rey?" Aku bisa merasakan dia melihat ke arahku. Aku terdiam. Perlahan mengangkat wajahku.

"Eh, iya." Gugup. "Diusahain."

Pak Ian menatapku. Aku kembali terpekur menatap tanganku.

Perlahan dia berdiri, membagikan perlahan. Dinda, Tristan, Dewa, Nana, dan terakhir Seto. Suara plastik pembungkus dibuka mulai terdengar. "Rey ngga usah. Karena dia harus datang."

Bersamaan dengan dia berkata seperti itu, kudengar suara tarikan napas panjang. Pertama satu tarikan napas, yang lain menyusul. Aku semakin terpekur menatap lantai. Dia duduk di depanku, duduk menyamping.

Hening.

Sesaat.

Tapi kurasa selamanya.

"Ini bener lu, Rey?" Suara Dinda membelah udara kesunyian yang menghimpit dadaku.

"Reyyy...?" Suara Tristan.

Sesak menyerangku. Menghimpit dada. Aku terisak perlahan. Kurasakan tatapan semua semakin menusukku. Aku tak sanggup berkata-kata. Walau sekadar 'ya' saja. Kudengar tarikan napasnya, dan isakanku berubah menjadi tangisan tertahan.

Dia langsung merengkuhku. Aku berharap ada lubang besar di depanku saat ini sehingga aku bisa bersembunyi dan menguburkan jasadku di sana.

Dia mengusap rambutku dengan sebelah tangannya, sementara tangan yang lain mengusap perlahan punggungku. Aku terperosok semakin dalam ke dalam pelukannya. Aku menangis merintih di dadanya.

Ruang Kecil di Sudut Hati, BDTH Bagian 2 [18+ End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang