5

71 5 1
                                    

"Woy! Ngelamun aja lo!"

"Kalo lo kerasukan gimana?"

"Yang susah siapa? Gue kan?"

"Heh, tolil!" Bastian yang merasa tak dianggap, menoyor kepala Adit yang lagi bengong dan hampir membuatnya tersedak oleh asap rokoknya sendiri.

"Berisik lo, Bas!" Adit memalingkan wajahnya sambil menghisap rokoknya lalu menghempaskan asapnya keluar.

Bastian melipat kedua tangannya di depan dada. Adit hanya meliriknya sekilas, "Jangan mulai deh."

"Aku tuh gak suka diginiin!" suara Bastian yang melengking dengan kontras menggantikan suara kebisingan di dalam warung kopi. Membuat semua mata tertuju padanya.

"Plis deh, Bas. Jangan mulai," bisik Adit pada Bastian sambil melihat ke sekeliling mereka.

Bastian memonyongkan bibirnya dan menatap Adit manja, "Ih, tapi aku-"

"Ah, tai. Dasar homo!" Adit bergidik ngeri sambil menempeleng kepala Bastian yang membuatnya terhuyung ke samping.

"Alah, biasanya juga kalo lagi khilaf, lo pegang-pegang tangan gue. Gak usah sok jaim gitu deh, Dit," kata Bastian dengan nada yang perlahan merendah sambil mengusap rambut Adit.

"Ah elah, ini yang sinting elo apa gue sih?" Adit berdiri lalu berjalan keluar dari warkop, "Mas, manusia homo ini yang bayar," lalu dibalas dengan anggukan dan senyum geli dari mas-mas warkop.

"Waduh, gak bener ini. Masa pasangan homo-nya yang tampan ini ditinggal kayak begini," kata Bastian sambil membayar lalu berlari keluar mengejar Adit.

"Woy, bleh! Jangan ngamuk gitu dong!" Bastian merangkul Adit dari belakang lalu dilepaskan kembali oleh Adit.

"Aku tuh gak suka diginiin!"

"Anjir, homo beneran lo!" Bastian menonjok tulang pipi Adit. Namun, tak ada balasan apapun dari Adit.

"Lah, ngape lu, bleh?" tanya Bastian heran melihat Adit yang tiba-tiba membisu.

Adit menarik napas panjang, "Bantuin gue dong,Bas."

Bastian memutarkan kedua bola matanya, "Kenapa lagi? Mau ngerepotin gue lagi?"

Adit menggelengkan kepalanya, "Gak bakal repot kok, selaw."

Bastian mengambil sebatang rokok, "Terus?"

"Kalo gue nembak cewek, kira-kira bakalan diterima gak?" tanya Adit menatap Bastian penasaran.

Bastian terkikik sambil menyalakan rokoknya, "Yah elah, cewek mana sih yang gak mau sama seorang Raka Aditya Pratama?"

"Lengkap banget, jadi terharu," Adit menutup mulutnya dengan tangan kanannya lalu dibalas dengan toyoran dari Bastian.

"Tuh, buktinya waktu itu gue ditolak mentah-mentah sama si Tania," Adit memegangi dagunya.

"Oh, iya-ya."

"Yah, kalo itu sih, Tania-nya aja yang kelainan. Cogan macem elo ditolak mentah-mentah," kata Bastian.

Adit memutarkan kedua bola matanya, lalu berdecak putus asa, "Tapi kayaknya yang satu ini bakalan susah deh."

"Di coba aja belom, udah ngeluh aja lo."

***

"Permisi, mau pesan apa, Mas?" tanya pelayan itu, namun tak ada jawaban.

"Mas, mau pesan apa?" tanyanya lagi.

Lamunan Farrel terbuyar, "Eh, oh iya. Jus melon satu ya, mbak."

Pelayan itu mengangguk lalu meninggalkannya.

Farrel kembali dalam lamunannya dan sesekali mengacak rambutnya sendiri.

Gak cuma orangnya yang keras kepala, tapi hatinya juga keras kayak batu, Farrel mengingat perlakuan Naya pada mamanya tadi.

Kenapa itu anak muncul terus di otak gue sih? Ah dasar, batin Farrel.

Tiba-tiba ponselnya berdering, panggilan masuk dari nomor yang tak tercantum di kontak.

Ah elah, siapa sih?

Farrel hanya melirik ponselnya sejenak, namun tak mengangkatnya sampai tak berdering lagi. Namun, ponselnya kembali berdering. Dengan terpaksa Farrel mengangkatnya.

"Halo?"

"Akhirnya diangkat juga!" terdengar suara penuh kegirangan dari sana.

"Siapa nih?"

"Ini gue, Rel. Vania."

Farrel menyatukan alisnya, "Elo? Dapet nomor gue dari mana?"

"Ada deh, dari temen lo pokoknya."

"Hah?"

Temen gue?

Farrel berpikir sejenak,

Ah bangke, Dikto mesum!

***

"Makasih ya, Mas," Naya turun dari motor dan memberikan uang sekaligus mengembalikan helm pada sang driver Go-Jek.

Dilihatnya mobil sedan hitam terparkir di depan gerbang rumahnya.

Naya berjalan gontai. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, Naya tersentak kaget melihat sepasang sepatu kulit di teras.

"Aku pulang."

"Hai, sayang. Kok tumben jam segini udah pulang? Sini masuk," ajak mamanya yang sedang duduk bersama seorang laki-laki. Namun Naya tak langsung menjawabnya. Matanya tertuju pada tangan mereka yang sedang berpegangan satu sama lain.

Naya terdiam di tempatnya berdiri, matanya terasa panas.

Laki-laki itu tersenyum pada Naya, "Anakmu makin cantik aja, Len."

Naya tak menghiraukannya dan menarik napas dalam-dalam, berusaha membuka mulut, "Besok ke sekolah ya, Ma."

"Kenapa? Ada rapat orang tua murid lagi? Duh, Nay. Mama males banget deh kalo-"

"Bukan, Mama Dateng aja ke ruang BK besok. Bisa kan?" Naya meninggalkan keduanya tanpa bicara apa-apa lagi dan segera naik ke atas menuju kamarnya.

Naya membaringkan tubuhnya di atas kasur. Matanya terasa semakin panas, aliran darahnya terasa tak mengalir lagi. Tumpahan air mata mengalir di pipinya.

Gak usah nangis, cengeng.

Dengan sekuat tenaga, Naya mengusapnya namun semakin deras. Dengan jelas, Naya melihat mamanya berpegangan tangan dengan rekan kerja papanya dulu.

Harusnya tangan yang dipegang mama itu tangan papa, bukan Om Haris.

Naya menenggelamkan wajahnya di dalam bantal.

Naya-Naya ...
Begini amat sih nasib lo, batinnya.

ProblemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang