RIVAL

740 34 1
                                    

RISA POV

Aku menarik kencang-kencang jaket yang melekat di tubuh. Mencoba untuk lebih menghangatkan badan di tengah udara yang dingin. Aku sedang berdiri di depan apotek, di sebuah halte tua yang tempat duduknya sudah mulai rusak. Baru saja membeli perban.

Rumahku lumayan jauh dari apotek. Letaknya ada di komplek perumahan tentara yang masih harus masuk ber blok-blok jauhnya dari jalan raya. Sementara apotek ada di dekat sekolahan SD di pinggir jalan.

Aku harus menunggu angkutan umum untuk bisa pulang. Sudah tiga kali lampu merah aku masih belum bisa menemukan angkutan yang menuju ke arah rumah. sudah malam. Jalanan semakin sepi. Aku takut. Bertanya-tanya apakah angkutan umum yang tadi kunaiki adalah gelombang terakhir.

Sesekali aku memiringkan badan saat ada gerombolan pengamen lewat. Atau kembali masuk ke apotek dan keluar saat kurasa keadaan sudah cukup aman. Masalahnya, aku tidak cukup berani untuk menghadapi kekerasan. Digodai oleh para pekerja proyek saja aku sudah berlari tunggang-langgang.

Aku selalu menghindari kemungkinan terjadinya kontak fisik dengan orang asing. mencegah hal-hal buruk sebelum itu terjadi. mengingat ini adalah kota Jakarta dengan tingkat kriminalitas tinggi.

Saat tiba-tiba sebuah sepeda motor besar berhenti di depanku, aku panik. Suara berisik mesin membuatku semakin gentar. Teringat akan adegan film yang memperagakan penculikan. Aku menepis pergi semua pikiran rancu di kepala ketika mengenali wajah si pengendara. Dia adalah Daniel.

Hanya mematikan mesin, Daniel tidak turun dari motornya. Dari mana? Dia bertanya tanpa membuka helm full-face yang dipakai, sehingga aku hanya bisa menerawang suara tidak jelas yang keluar dari mulutnya.

Jujur, aku bingung. Tidak tahu bagaimana cara bersikap ketika bertemu dengan rival. Situasinya sangat berbeda dengan saat di sekolahan yang biasanya aku bisa mengacuhkan dia seenaknya.

"Ayo naik. Gue antar pulang."

Malam itu, aku menerima ajakan Daniel untuk mengantarku pulang. Sebagian diriku menolak, lagi-lagi malas untuk terlibat dengannya. Namun rasa takut dan cemas yang hinggap akan malam hari yang sepi membuat hatiku yang mengambil keputusan. Menentang logika yang kali ini menolak keras untuk menerima bantuan dari seorang musuh.

Motor Daniel menukik tinggi. Membuatku sedikit menungging saat terduduk, hingga jarak yang kuciptakan antara aku dan Daniel semakin terhapus. Beberapa kali pun, saat gas dimainkan, atau Daniel yang tiba-tiba mengerem mendadak membuatku sedikit terjungkal dan menghantam punggungnya.

Samar-samar, aku bisa menyium aroma collonge yang dikenakan Daniel. Wanginya melekat kuat, namun natural, seperti aroma tubuh yang sudah diberikan sejak lahir. Aroma ini yang aku cium setiap kali masuk ke kelas di pagi hari. Entah aku atau Daniel yang datang lebih dulu, aroma ini selalu hadir.

Saat Daniel menurunkanku di depan pagar rumah, dia tidak langsung pergi. Aku juga tidak langsung masuk. Di antara kami seperti ada isyarat tak kasat mata yang sama-sama menahan kami untuk tetap ada di sini.

"Luka itu...masih sakit?" Daniel melirik pelipisku sejenak, lalu melihat ke arah lain. Menghindari terciptanya kontak mata, seperti biasanya.

Aku menggeleng saat dia menanyakan status lukaku. Padahal, yang kurasakan jauh dari kata baik-baik saja. rasanya masih sedikit perih. Sesekali sakit kalau tidak sengaja tersentuh. Pelipisku jauh lebih berat dari pada yang sebelah. Terasa seperti ada benang mengganjal yang membuatku tidak nyaman.

Saat dokter menjahit lukaku, beliau bilang kalau jahitan ini bisa dilepas minggu depan. Selama masa penyembuhan, aku harus mengganti perbannya setiap hari. Agar tidak infeksi.

"Bagus deh, jangan males untuk ganti perban. Lukanya, jangan sering disentuh. Kalau habis disentuh, jangan lupa diolesi anti septik. Usahakan jangan terlalu berkeringat."

Aku mengangguk saat Daniel mengatakan semua itu. seolah dokter, dia mengatakannya bagai hafalan, dalam sekali tarikan nafas.

Kata-kata itu terdengar asing saat keluar dari mulutnya. Cowok seperti Daniel bukanlah orang yang perhatian, terlebih lagi kepadaku. Sehingga saat dia mengatakan itu tadi, jujur aku kaget. Terkejut bukan main. untuk sedetik, mataku melotot menanggapi kalimatnya. Tapi cepat-cepat aku mengangguk dan menghapus semua keterkejutan yang mungkin terlihat.

"Gue balik. Cowok itu pun berlalu pergi."

X-RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang